[BTC-32]

5.1K 980 400
                                    

Reni



My life now should be deemed sad, right? I should also be depressed over the numerous troubles in my life. That's how things should be.

Tapi, kenapa kenyataannya berbanding terbalik seperti ini?

Setelah memastikan Pak Wijaya masuk ke ruang meeting, aku langsung turun ke ruangan Deryl dengan terburu-buru. Rasanya jantungku hampir copot dan lega di waktu bersamaan ketika melihat Deryl duduk di belakang meja kerjanya, tampak biasa saja—berbeda saat ia menghubungiku pagi tadi.

"Belum datang?" tanyaku sambil menunjuk ke arah sebelah, mengarah ke ruangan Hatalla dan keberadaan pria itu.

Deryl menggeleng, "Bapak ke Kominfo dulu. Nggak tahu hari ini ke sini apa, nggak," jelasnya sambil menunjuk ke arah kursi kosong yang ada di depan meja kerjanya. "Bapak besar di mana? Kok, lo bisa ke sini, Bu Ren?"

"Meeting." Aku menarik kursi yang dimaksud Deryl dan mendudukinya dengan perasaan nggak karuan. "Gue tinggal bentar buat ke sini," jawabku sembari menarik napas panjang ketika melihat Deryl meringis di kursinya. "Kok, bisa, sih?" Akhirnya aku menanyakan pertanyaan yang membuat pagiku gelisah nggak menentu ke Deryl.

Di kursinya, Deryl memasang raut nggak habis pikir dengan kepalanya yang bergerak menggeleng. "Bapak semalam, 'kan, ke Bleues Notes—"

Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih lanjut dari Deryl, aku sudah tahu apa yang terjadi setelahnya.

"Kata Pak Narendra, sih, cuma minum cocktail aja. Tapi, emang tingkah Pak Hatalla rada aneh, sih," ujarnya dengan pandangan menerawang, seperti mengingat-ingat sesuatu soal Hatalla semalam.

Pantas aja pesanku dari semalam nggak dibalas...

Ya, gimana nggak mau aneh? Hatalla can't drink alcohol; even if it's just a drop. Tapi, dia memang suka maksa minum kalau lagi ada masalah berat, dan mungkin mabuknya itu ada hubungannya dengan Pak Wijaya yang memergoki kami kemarin malam.

"Terus, masalah yang tadi pagi?" Aku mendekatkan tubuhku ke tepian meja agar bisa melihat dan memperhatikan Deryl dengan jelas.

Bisa kulihat gurat khawatir dari wajah Deryl, sebelum dia meringis dan mendorong kursinya menjauh dari meja. "I think Pak Hatalla has a hangover. Dia ngakunya lo semalam tidur di rumahnya, pake bawa good-night kiss segala, Bu Ren..." Kedua mataku langsung memejam mendengar penjelasan dari Deryl. "Kalau misal gue yang denger, sih, nggak masalah. When it comes to me, you can count on complete confidentiality. Tapi, ini Pak Hatalla ngomongnya di depan Ibu Ainur," sambungnya yang semakin membuat mataku terpejam erat.

"Jadi, setelah jemput gue dan nganterin gue ke kantor, lo sama Ibu Ainur pergi ke rumah Hatalla?" tanyaku, mencoba menyusun satu per satu masalah baru yang akan aku dan Hatalla hadapi dalam waktu dekat ini.

Begitu mataku terbuka, aku melihat Deryl menganggukan kepalanya. "Ibu Ainur niatnya mau pamer ke Pak Hatalla kalau beliau pagi ini nganterin lo ke kantor, Bu Ren. Tapi, memang takdir nggak ada yang tahu, ya, Bu..." Raut Deryl berubah prihatin, membuat gue mendengkus pelan.

Sebenarnya, aku lebih dulu terkejut waktu tahu kalau Ibu Ainur sedang menungguku di ruang tengah kosan saat aku sedang bersiap-siap pergi ke kantor.

Aku sendiri sudah takut bukan main karena timingnya bisa dibilang sangat pas setelah Pak Wijaya memergoki aku dan Hatalla, tapi ketakutanku nggak terjadi karena Ibu Ainur bilang dia ingin mengajakku sarapan sekaligus mengantarkanku ke kantor karena Bapak Wijaya sudah lebih dulu berangkat pagi-pagi sekali.

"Ibu sudah bilang ke Ayah kalau kamu datangnya agak terlambat karena nemenin Ibu buat pergi sebentar. Ayah nggak keberatan, kok. Ibu ada langganan bubur, searah sama kantor ATU. Dulu, sih, Ibu sering ke sana sama Ayah dan Hatalla, tapi dua-duanya sibuk dan karena sekarang ada kamu, jadi perginya sama kamu aja."

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now