[BTC-10]

5K 1K 536
                                    

Reni. 

"Loh, Bapakmu ke mana?"

Aku menoleh ke arah sekitar lalu menunjuk diriku sendiri sebelum Pak Katon mengangguk, "Tadi bilangnya mau ke toilet, Pak," jawabku menunjukkan ke mana absennya Hatalla setelah tadi dia menyuruhku dan sahabat-sahabatnya yang lain untuk menunggu di lobby hotel Marina Bay Sands.

"Dari tadi?" Pak Hestamma ikut menyahut, menatap jam tangannya lalu mengedarkan pandangan ke arah sekitar.

Bukannya Hatalla memang kelewat lama untuk seseorang yang pergi ke toilet, ya? "Sudah sekitar 30 menit yang lalu, Pak," jawabku, membuat kelima sahabatnya menatap ke arahku heran.

"Diare itu anak?" Meskipun Pak Algis menyelingi dengan candaan, tapi aku bisa melihat raut khawatir sahabat-sahabat Hatalla yang lainnya.

Hari ini, Hatalla memang punya jadwal pergi ke Singapore bersama sahabat-sahabatnya untuk menyaksikan Singapore Grand Prix di mana Subsonic ikut bergabung dalam race. Ya, salah satu tim F1 milik keluarga Pak Hestamma itu memang akhir-akhir ini menarik perhatian Hatalla dan sahabat-sahabatnya. What I heard was that they were interested in joining SubSonic if, for example, based on the results of today's match, Jaka could secure his place on the podium.

Obrolan mereka soal itu sepertinya serius, dilihat dari kelima sahabat Hatalla yang sibuknya bukan main yang meluangkan waktu mereka untuk datang ke Singapore hari ini dan bagaimana semalam mereka membicarakan mengenai saham blue chip yang akan diambil sahabat-sahabat Hatalla kalau SubSonic bisa meyakinkan mereka di Singapore Grand Prix race hari ini.

Pak Jatmika mengulurkan tangan, mencoba menarik perhatianku yang kini tengah menatap ke layar handphone. "Telepon, deh, Ren." Aku mengangguk, menunjukkan layar handphoneku ke arah Pak Jatmika. "Itu anak kurang ajar bener nyuruh kita nunggu di sini." Dari raut wajah Pak Jatmika, aku tahu kalau dia nggak benar-benar marah karena harus menunggu Hatalla.

Mungkin dia merasa sedikit terganggu karena Bu Samahita dan anak-anaknya yang ikut hari ini juga terpaksa harus ikut menunggu, sama dengan sahabat-sahabat Hatalla yang lain yang membawa keluarga mereka juga—tengah menunggu Hatalla yang selama 30 menit ini belum juga kembali ke lobby.

Hatalla ke mana, sih?

Dan kenapa dia nggak mau mengangkat telponku juga—

"Sorry... Sorry..." Hatalla mendadak muncul dengan napas berantakan, sepertinya dia berlari menuju ke sini. "I had some unexpected business that wasn't on my schedule," katanya, melirik gue sekilas.

Huh? Maksudnya?

Tentu saja, kedatangan Hatalla disambut lirikan tajam sahabat-sahabatnya. "Lain kali nggak usah pake boong, La. Kalau ke toilet, ya, ngomong aja ke sana. Ini kita nungguin di sini semuanya karena kita pikir lo cuma bentar aja. Kalau tau lama, 'kan, kita bisa tinggal duluan, La." Pak Hestamma berdecak, menggelengkan kepalanya sementara Ibu Laras ikut menatapnya tajam.

Aku melirik ke arah Hatalla, dan sudah sepantasnya dia merasa menyesal karena membuat yang lain menunggu lama. "Maaf, tadinya gue pikir juga cuma sebentar. Tapi..." Hatalla menghela napasnya berat, dia keliatan terganggu dan frustrasi.

"Kenapa?" Ternyata bukan cuma aku aja yang merasa Hatalla menunjukkan keganjalan, Pak Narendra tiba-tiba berjalan dan berhenti di samping tubuh Hatalla. "Ada masalah? Yang kemarin?" tanyanya, menaruh salah satu tangannya di bahu Hatalla.

Masalah kemarin? Soal Pak Rasyid dan keluarga Adiwangsa? Bukannya semuanya sudah selesai? And, as far as I know, Deryl did not inform me of any of the other problems that arose when I should have been the first to know.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now