Hatalla.
Is there a word to express being really tired? It is not only tired; I am really worn down...
Gue bahkan udah nggak bisa lagi ngomong kalau gue capek, malah. Karena gue kalau sampai ngomong begitu, gue takut gue sadar dan akhirnya gue memilih buat berhenti di saat hati gue—yang masih belum sepenuhnya menyerah—masih mau berjuang meskipun semuanya masih belum jelas dan... kalau bisa gue bilang, sekarang semuanya malah berubah rumit.
Dari penuturan Ririn—tanpa gue paksa—dia mengatakan kalau Reni berkeinginan untuk resign, dan karena alasan itulah dia datang ke sini menemui Ririn untuk meminta saran dari wanita itu.
At first, I assumed I had to explain everything because I needed to. Tapi, diri gue yang lain malah nggak mau menjelaskan apa-apa, padahal gue ada waktu buat ngobrol dengan Reni tadi.
Lagi-lagi, gue capek.
Oke, gue memang salah karena nggak menceritakan alasan sebenarnya dari masalah baru yang muncul sekarang. But I'm not so naive about moving Reni solely because of our personal issues. I can still be professional with her when it comes to work.
Sayangnya, Reni nggak mikir begitu. She should know me and think that I'm not what she thinks, tapi sepertinya dia udah terlalu panik dan kecewa...
Sementara gue? Gue gimana?
"Permisi, Bapak..."
Suara ketukan dari ruang kerja Narendra membuat gue menolehkan kepala bersamaan dengan munculnya Ririn dari balik pintu sambil membawa beberapa box makan siang gue dan Narendra ke dalam ruangan.
Selesai menata makanan di atas meja, Ririn berjalan ke arah gue dan berdiri tepat di sebelah kursi yang gue duduki. "Reni gimana? Udah pulang?" tanya gue.
Meskipun gue mengatakan dengan nada bicara yang terkesan normal dan datar, jantung gue berdegup dengan kencang.
Sebelum ke ruangan Narendra, gue sempat membuat kesepakatan—gue sendiri yang membuat—dengan Reni.
"Wait for me here if you still want to continue this relationship with me, but if you are ready to end it, you are free to leave."
Itu yang tadi gue katakan di dalam ruangan Ririn, tepat sebelum keluar meninggalkan Reni di dalam sana sendirian yang kemungkinan akan mulai menangis lagi.
Kalau aja gue tadi mau menurunkan ego—seperti diri gue yang sebelumnya—gue pasti akan berakhir memeluk Reni, menenangkan dia, menjelaskan semuanya yang memang sudah jadi tugas gue. Tapi, kali ini gue mencoba menahan diri. Kalau aja gue melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, gue tahu gue akan membiarkan Reni menang lagi dan lagi-lagi gue harus mengorbankan perasaan gue sendiri.
I knew there was something wrong with our relationship. I knew it could still be fixed, and even though I was tired - it was still worth fighting for.
Makanya, kali ini gue memilih cara itu—cara agar Reni bisa merenungkan semuanya dan menurunkan egonya.
Untuk beberapa detik, Ririn terdiam sebelum akhirnya kepalanya menggeleng pelan. "Belum, Pak," katanya berhasil membuat hati gue lega luar biasa. "Reni bilang dia menunggu Pak Hatalla sampai urusan Bapak dengan Bapak Narendra selesai," jelas Ririn, sepenuhnya membuat tubuh gue rileks—nggak lagi tegang seperti sebelumnya.
Kepala gue mengangguk-angguk, gue juga sekarang sudah sepenuhnya bersandar di kursi. "Oke, terima kasih, ya, Rin." Di samping gue, Ririn mengangguk. "Sama... Tolong temani dia dulu sementara saya di sini, ya? Ajak dia makan siang sekalian, ya, sama kamu, Rin."
YOU ARE READING
BELL THE CAT (COMPLETED)
ChickLitMarie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy every day and still surviving? One is trying to hold on, and the other is trying to let go. One of them doesn't understand anything, while the o...