[BTC-13]

4.7K 995 407
                                    

Hatalla. 



"Ada kerjaan yang nggak lancar?"

Gue langsung refleks menggelengkan kepala, "Nggak ada, Yah." Walaupun gue cerita sekarang, rasanya ini bukan timing yang pas mengingat ada alasan lain gue pulang ke Menteng malam ini, meski pagi tadi gue baru sampai di Jakarta setelah urusan di Singapore selesai.

"SubSonic bukannya aman-aman aja?" Gue mengangguk lagi. "ATU juga lagi nggak ada masalah—semoga sampai kedepannya—kerjaan di Kominfo lagi penuh? Ada masalah di sana? Cerita sama Ayah, La, siapa tau Ayah bisa bantu." Ayah melepas kacamatanya dan menatap gue lurus dari belakang meja kerjanya.

Napas gue terhela kasar, gue menyandarkan tubuhnya di kursi seberang meja kerja Ayah. Sebenarnya gue memikirkan ini dari Singapore, sampai sekarang gue ada di Jakarta—beban pikiran ini masih belum juga bisa gue kurangi.

"Ayah..." Gue mengarahkan tatapan gue ke langit-langit ruangan kerja Ayah. "Ayah tahu soal hubunganku dan Reni dari mana dan sejak kapan?"

Sebelum menceritakan hal lebih jauh lagi, gue rasa gue perlu tahu yang satu ini lebih dulu.

Sebenarnya, gue sedikit curiga soal tahunya sahabat-sahabat gue soal hubungan gue dengan Reni yang dengan mudah mereka sadari. Kalau mereka aja tahu, gimana soal Ayah, 'kan, ya? Dari dulu Ayah bisa dibilang jadi orang terdekat gue dan Reni, dia selalu ketemu gue dan Reni di ATU hampir setiap hari. Jadi, ketika tau kalau Ayah juga sadar kalau gue dan Reni ada hubungan, gue antara kaget dan nggak kaget lagi, sih...

"Masalahmu ada kaitannya sama itu?" Ayah balas mendengkus, mungkin nggak menyangka kalau raut wajah super sumpek yang gue tunjukkan sejak tadi memang ada kaitannya dengan hubungan gue dan Reni. "Tahunya, ya, sejak awal," jawab Ayah, nggak sepenuhnya menuntaskan rasa ingin tau gue.

Kepala gue kembali tegak, dan pandangan gue mengarah lurus tepat ke wajah Ayah yang juga tengah menatap gue lurus. "Sejak awal itu sejak kapan, Yah? Dan gimana Ayah bisa tahu?" tanya gue lagi, belum juga menyerah.

Ayah menyandarkan tubuhnya di kursi, menggoyangkannya ke kanan dan kiri sambil bergumam panjang. "Ya, sejak kamu nemenin Werni ke kantor untuk ngomongin soal Reni yang lagi cari kerja itu." Hah? Se lama itu? "Niat banget, 'kan, kamu sampai perlu nganter Werni segala? Meskipun kamu nggak bilang apa-apa, dengan kamu ikut menemui Ayah juga Ayah tau kalau kamu maunya Reni kerja di ATU," jelasnya sambil menggelengkan kepala sekarang. "Ayah, sih, nggak mau ikut campur soal itu. Tapi dari awal juga Ayah sudah tahu kalau kamu punya rencana soal Reni sampai dia akhirnya jadi personal assistant kamu, terus jadi pacar kamu—semuanya Ayah tahu, La.

"Kalau kamu tanya dari mana Ayah bisa tahu soal hubungan kalian, ya, mungkin karena Ayah orangnya terbiasa teliti waktu liat orang lain—utamanya orang-orang terdekat di sekitar lingkungan di mana Ayah tinggal. Ya, Ibu, kamu, Reni, orang-orang ATU. Jadi, sedikit perubahan aja, Ayah sometimes bisa langsung sadar termasuk soal berubahnya hubungan kamu sama Reni." Ayah menjelaskan dengan serius, tatapannya mengarah lurus ke gue. "Mungkin kalian bisa menutupi semuanya di depan orang lain, tapi Ayah sudah tahu, sih. Jadi, mau disembunyikan dengan cara apa pun, Ayah tetap bakal tahu," katanya, sempat mengejutkan gue—sedikit.

How can I forget that I am in a situation where those who live around me are not ordinary people? Gimana bisa gue berpikir naif kalau gue dan Reni sama-sama sudah melakukan segala hal yang terbaik untuk menyembunyikan hubungan kami?

Helaan napas kasar gue ternyata menarik perhatian Ayah, membuat beliau tertawa sambil memukul meja kerjanya beberapa kali. "Kenapa memangnya? Pacarmu ada masalah? Kalian lagi ada masalah?" tanya Ayah setelahnya, masih tertawa—dengan kesan mengejek gue.

We had decided from the start of our relationship to keep it private from others. It was a condition from Reni if I wanted to be in a relationship with her."

BELL THE CAT (COMPLETED)On viuen les histories. Descobreix ara