[BTC-14]

5.5K 1K 296
                                    

Reni





Dibanding dibilang terbiasa, aku bisa mengatakan kalau aku berusaha membiasakan diri.

Sebelum bekerja dengan keluarga Adiwangsa, aku sama sekali nggak pernah datang ke acara-acara semacam ini. Soiree, garden party, grand opening, charity, the conglomerate's business birthday in tens of years—all types of events that only the upper classes attend.

I really don't have any idea what these busy people are up to or why they would take the time to come to such a crowded place, sampai akhirnya aku mengetahui semuanya sendiri lambat laun setelah aku bekerja dengan keluarga Adiwangsa.

Mungkin aku dulu pernah melihatnya dari beberapa adegan di film, tapi sekarang aku bisa melihatnya sendiri dengan kedua mataku bagaimana orang-orang ini bersosialisasi dan tujuan apa yang membawa mereka—orang-orang yang sebelumnya nggak pernah muncul dan bisa ditemui dengan mudah—datang ke soiree semacam ini.

"Ini siapa?"

Aku mengulas senyum lebar, mengulurkan tangan untuk menawarkan jabatan tangan. Untuk sekarang nggak ada namanya malu-malu lagi, aku sudah belajar banyak selama ini dan kepercayaan diri adalah salah satu hal terpenting untuk bisa bersosialisasi dengan orang-orang kalangan atas seperti ini.

"Perkenalkan, saya Widuri Ireni." Aku datang ke sini juga karena sebuah tujuan, sama seperti mereka. "Saya personal assistant dari Bapak Hatalla Adiwangsa," kataku memperkenalkan diri.

Ibu Sjahrir—wanita paruh baya yang sekarang ada di hadapanku—keliatan mengernyitkan kening ketika menatapku, dia memperhatikanku dari atas ke bawah secara terus-menerus.

Maintain your confidence and do not lose concentration.

"Kamu kenapa familiar, ya?" tanyanya penuh dengan tatapan penasaran ketika menatapku. "Kita pernah ketemu sebelumnya?" Ibu Sjahrir menunjukku dan menunjuk dirinya bergantian.

Ini jadi salah satu keberuntungan yang aku dapatkan dari ide Bapak Wijaya ketika beliau mencoba mengubah profil dan image-ku ketika bekerja dengan keluarganya. Meskipun kami belum pernah bertemu, semua orang seakan sudah pernah mengenalku sebelumnya. It's true that the image we've been working on for so long has had such an influence that it makes some people feel familiar, right?

Kepalaku menggeleng, masih sambil mempertahankan senyum lebarku. "Sayangnya ini pertemuan pertama kita, Bu. Mungkin Ibu pernah melihat saya beberapa kali di televisi karena saya sering mendampingi—"

"Oh, saya ingat!" Ibu Sjahrir langsung memotong ucapanku sambil menepuk keningnya pelan. "Kamu yang terkenal itu, kan?" tanyanya yang cuma aku balas lewat tawa kecil. "Saya sering dengar kamu dari relasi saya yang lain. Anak saya juga sepertinya sering ngomongin kamu kalau lagi main ke rumah, akhir-akhir ini video kamu di Instagram juga sering saya liat! Astaga, kok, bisa saya lupa begini? Apa mungkin karena pangling, ya? Aslinya kamu jauh lebih cantik daripada yang di video itu, loh?" puji Ibu Sjahrir yang membawa obrolan kami jauh lebih lancar.

Sampai ada beberapa relasi dari Ibu Sjahrir yang juga ikut bergabung dengan obrolan kami, membuat yang tadinya hanya kami berdua saja yang berdiri di tengah taman belakang rumah keluarga Cokroatmojo—sampai ada sekitar 7 orang lain yang berkumpul bersama kami.

"Ini kartu nama saya."

Aku mengambil kartu nama yang diberikan salah satu kenalan Ibu Sjahrir, membaca nama belakang atau nama keluarga yang tertera di sana singkat sebelum mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

"Nanti kalau ada waktu, mungkin saya bisa dihubungi," katanya ikut merangkul lengan Ibu Sjahrir, seperti menekankan kalau mereka berdua adalah relasi dekat dan mungkin hal itu bisa dijadikan salah satu powernya di hadapanku. "Beberapa kali saya sudah coba untuk ketemu sama keluarga Adiwangsa, tapi timing-nya nggak pernah pas. Nanti mungkin Mbak Reni bisa membantu karena Mbak Reni sendiri yang mengurus jadwal Pak Hatalla, 'kan, ya?"

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now