[BTC-15]

4.9K 1K 441
                                    

Hatalla. 



"Soal KTT ASEAN gimana?"

Rendy menatap gue lama dalam diam sebelum dia mengotak-atik iPadnya, "Kemarin sudah ada meeting, sih, Pak. Sudah saya rangkum dan saya kirimkan di email," katanya sambil menaruh iPad ke atas meja gue. "Kemarin kita membahas soal infrastruktur telekomunikasi yang harus diperhatikan selama acara berlangsung, Pak."

Kepala gue mengangguk-angguk sambil memperhatikan rangkuman hasil meeting yang dibuat Rendy dari layar iPadnya. Kemarin gue harus ke Surabaya karena harus menghadiri rapat koordinasi bersama jajaran lain, karena itu gue nggak bisa menghadiri meeting untuk membahas soal soal peranan kami nanti di acara KTT ASEAN.

"Nanti ada meeting lagi?" tanya gue.

Di depan meja, Rendy kembali menerima iPadnya yang gue kembalikan sambil menggelengkan kepala. "Hari ini, jadwal Bapak cuma sampai siang saja, Pak," katanya menjawab pertanyaan gue dengan cepat. "Sudah saya koordinasikan dengan Reni pagi ini karena Bapak juga ada jadwal di ATU."

Gue mengangguk lagi, "Thanks," Rendy ikut mengangguk. "Dy, saya minta tolong pesenin makan siang sama cemilan buat anak-anak. Nanti tagihannya kirim ke Reni."

Well, diliat dari sumpeknya wajah Rendy sekarang, gue tau udah saatnya gue menunjukkan sedikit kepedulian gue—seperti apa yang sering diinstruksikan Reni. Seenggaknya hal-hal kecil semacam ini bisa membuat mereka senang, liat aja wajah cerah Rendy sekarang...

"Mau beli apa, Pak? Bapak ada request mungkin?"

"Nggak ada." Gue mengarahkan tatapan ke arah handphone, mengecek beberapa pesan yang belum sempat gue balas. "Kan, kalian yang makan? Jadi, kalian pilih sendiri aja. Nanti saya makan siang diluar soalnya," kata gue sebelum Rendy pamit dari ruangan gue dengan senyum super lebarnya yang cuma muncul waktu gajian atau dapat traktiran semacam ini.

Setelah ditinggal sendirian lagi, gue memutuskan untuk mengerjakan beberapa laporan yang perlu gue perbaiki setelah memeriksa semua pesan yang untungnya sudah gue balas sebelumnya.

Gue nggak tau benar berapa lama waktu yang gue habiskan sampai gue mendengar dering handphone gue berbunyi nyaring. Masih sambil menatap kertas laporan, gue mengambil asal handphone dan menempelkannya di telinga tanpa melihat dulu siapa orang yang menghubungi gue. "Selamat pagi," sapa gue begitu telepon mulai tersambung.

"Formal amat?"

Gue buru-buru menjauhkan handphone dari telinga gue supaya gue bisa melihat ke arah layar, "Tsk... ngapain lagi? Ada apa?" tanya gue begitu gue melihat nama Narendra di sana.

"Sopan dikit, La." Narendra balas berdecak. Kalau gini, dia baru kedengeran serem. "I've got good news for you. Have you heard from Deryl?"

Kepala gue menggeleng pelan, setelahnya gue baru melepas fokus gue dari kertas laporan dari atas meja. "If it isn't about Reni wanting to marry me, then everything you say is bad news," jawab gue asal sambil bersandar di kursi.

Di seberang sambungan, Narendra memaki gue beberapa kali sambil tertawa keras. "Yang itu, sih, bukan jadi urusan gue, ya. Gue angkat tangan," katanya ikut menimpali celotehan gue sebelumnya. "Tapi, yang satu ini serius, La. Ini soal Frederic Simons, he ate our bait and agreed to meet us in Singapore next week."

HAH?

Badan gue langsung duduk tegak di atas kursi, I didn't hear anything incorrect, did I?

Tawaran Frederic Simons kemarin—waktu kami bertemu di Singapore—itu gue anggap basa-basi. We came from the same circles, so I knew Frederic Simons well from the outside. Dan apa yang dikatakannya waktu itu adalah salah satu caranya untuk mencari tahu tentang gue yang kebetulan ada bersama Reni, bukan yang benar-benar tertarik untuk mengundang gue supaya dia bisa mengajak gue dan yang lain untuk bergabung bersamanya.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now