[BTC-12]

5K 1K 394
                                    

Reni.




"Halo, Ren?"

Mataku masih terpejam ketika akhirnya aku memutuskan untuk mengangkat telepon yang mungkin sejak beberapa menit lalu terus berdering, dan setelahnya aku menyesal bukan main setelah mengangkat sambungan telepon begitu suara yang tidak aku ingin dengar-setidaknya untuk sekarang-menyapa telingaku.

Dengan malas-malasan, aku mencoba mengangkat tubuhku dan membuatnya duduk di atas ranjang meski setelahnya aku merasa pusing yang luar biasa di kening dan pelipisku.

Suara Mama setelahnya kembali terdengar, mungkin karena aku nggak menanggapi sapaannya. "Ren? Kamu dengar nggak?"

Kepalaku mengangguk, seakan mengira Mama-di seberang sambungan-bisa melihatku.

"Dari semalam Mama telpon dan wa kamu, tapi nggak ada yang dibalas dan diangkat. Kamu kenapa? Nggak sakit, 'kan, Ren?"

I swear, I do not want to talk to anyone right now. Bukannya menjawab, aku hanya menghela napas panjang, berharap Mama bisa tahu kalau sekarang aku nggak ingin diganggu dulu.

Dan sepertinya taktikku barusan berhasil karena Mama bergumam panjang dan berkata, "Mama ganggu, ya, Ren?" tanyanya dengan suara pelan.

Aku nggak mengatakan apa pun, tapi kepalaku bergerak mengangguk.

"Oke." Dari suaranya sekarang, aku bisa menebak kalau Mama kedengaran khawatir. "Nanti kalau nggak sibuk, tolong telepon Mama, ya, Ren? Mama mau ngomong sesuatu soalnya," ucap Mama sebelum dia memutus sambungan telepon kami.

Setelah sambungan telepon terputus, napasku terhela lega. Bukannya aku tidak tahu tujuan Mama menghubungiku sejak semalam, but I can't deal with her for now. Beban pikiranku sudah cukup banyak, dan menerima omelan Mama soal aku yang nggak meladeni pesan dari pria yang dikenalkannya bukanlah sesuatu hal yang penting untuk masuk ke list prioritasku sekarang.

Sekali lagi-sambil bersandar di kepala ranjang-aku menghela napas kasar sambil memejamkan mata, mencoba untuk menghilangkan pening yang aku rasakan sekarang.

Aku nggak tahu tepatnya kapan, tapi beberapa hari sebelum pergi ke Singapore dan sejak tahu benar urusan apa yang melatarbelakangi Hatalla datang ke sini, I could not sleep at all. Mungkin itu jadi salah satu alasan kenapa keadaanku nggak fit sekarang, dan yang lainnya mungkin juga karena aku banyak kepikiran hal-hal nggak penting semacam-

"Kerjaan nggak kurang banyak, ya, Ren... Try to think of other responsibilities that are far more important than worrying about people who do not necessarily care about you." Ini adalah kalimat yang terus aku ulang akhir-akhir ini, I'm sort of trying to tell myself not to do anything stupid.

Oke, tenang...

Inhale, and then slowly exhale...

Perlahan mataku kembali terbuka, dan napasku sempat berhenti untuk beberapa detik karena menangkap sosok Hatalla yang berdiri bersandar di dinding-menatapku yang ada di atas ranjang lurus.

Dia berniat mengerjaiku, ya?

Saking kagetnya, bukan cuma napasku aja yang berubah berantakan, tapi dadaku juga ikut sakit setelahnya.

Aku melihat Hatalla sempat terdiam dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke saku-masih menancapkan tatapannya ke arahku-sebelum dia berkedip lambat, dan langsung berjalan ke arahku dengan raut khawatir.

"Kamu kenapa?" Hatalla berdiri di samping ranjangku sambil memegang kedua tanganku yang tadinya ada di atas pangkuan. "Tanganmu kenapa dingin banget? Sudah minum obat? Makan?" tanyanya berturut-turut.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now