[BTC-25]

4.6K 972 483
                                    

Hatalla. 



"Maaf sekali, ya, Pak." Gue membalas jabatan tangan Pak Syamsir, berusaha bersikap se-profesional mungkin meski gue merasa segan nggak karuan.

Sebelum gue sampai ke Sumbawa, staf dari Pak Syamsir sebenarnya udah menghubungi gue untuk menanyakan jadwal gue selama ada di Sumbawa. Begitu tau kalau gue ada waktu luang setelah acara webinar—satu-satunya yang membawa gue dari Jakarta ke sini—mereka langsung mengatur jadwal pertemuan gue dan Pak Syamsir—Bupati di sini.

"Saya seharusnya yang minta maaf." Pak Syamsir keliatan ramah menyambut kedatangan gue yang bisa dibilang sangat terlambat ini. "Saya jadi merepotkan di sela kesibukan Mas Hatalla, padahal saya juga tahu kalau Mas Hatalla ada kerjaan di sini," katanya yang sepertinya setengah menyindir gue.

Soal keterlambatan gue sendiri...

Sepertinya nggak perlu dibahas, ya? Yang penting, hati gue udah tenang waktu meninggalkan Reni yang ketiduran tadi.

Everything we need to talk about we've discussed, and let's call me unprofessional because I think that's the most important thing right now—my and Reni's problems.

Karena sejujurnya undangan makan malam dari Pak Syamsir hari ini agak mengejutkan gue karena gue nggak merasa punya kepentingan dan hal lain yang bersangkutan dengan sosok Bupati Sumbawa itu, gue bahkan sampai menanyakan soal Pak Syamsir ke Ayah—takut kalau gue melewatkan sesuatu tentang ATU atau yang lainnya yang mungkin bisa menghubungkan niat Pak Syamsir untuk bertemu dengan gue.

Tapi, hasilnya nihil.

Ayah pun nggak tahu, bahkan dia bilang kalau belum pernah bertemu atau punya kerja sama dan lainnya dengan sosok Pak Syamsir.

"Mungkin dia mau menawarkan sesuatu, La. Datang aja, ditemui. Tapi, Deryl sama Rendi suruh cari informasi dulu. Jangan sampai ada apa-apa nantinya, apalagi kita tahu kalau ada yang harus kita jaga dari media dan banyak orang luar."


Itu yang dikatakan Ayah, dia juga mengingatkan gue soal segala kemungkinan termasuk tentang masalah yang dihadapi Reni.

Kalau dulu, orang lain mendekati Reni karena ingin tahu soal gue dan keluarga gue, sekarang orang lain mencoba mendekati gue untuk tahu soal Reni.

Dan Pak Syamsir bisa aja punya tujuan itu.

Gue tersenyum tipis waktu Pak Syamsir mempersilakan gue untuk duduk, "Saya justru jadi nggak enak, Pak."

Pak Syamsir duduk di seberang gue, dia tertawa keras sambil menyesap kopinya. "Santai aja, Mas Hatalla. Ayo, pesan makan dan minum dulu," katanya menawari gue dan Deryl yang duduk di meja lain yang tepat ada di belakang kursi gue.

Sebenarnya, gue nggak terlalu lapar karena gue sudah makan duluan—maksudnya, menghabiskan makanan Reni sebelum berangkat ke sini. Jadi, gue cuma berbasa-basi menanyakan manakah makanan dan minuman yang bisa direkomendasikan Pak Syamsir untuk gue, menyerahkan semuanya ke beliau.

Setelah memesan makanan dan minuman, Pak Syamsir kembali menatap gue. "Gimana? Betah nggak di sini?"

"Betah, Pak." Gue menjawab sambil menganggukan kepala. "Makanannya enak-enak," lanjut gue, mengingat jawaban yang diberikan Reni mengenai alasan kenapa dia mau ikut ke Sumbawa.

Suara tawa Pak Syamsir terdengar keras memenuhi meja kami, "Lain kali main ke sini lagi, Mas Hatalla. Jangan sambil kerja, waktu liburan maksud saya."

Gue mengangguk, meski merasa aneh. Well, I should have acted that way because I had no idea what the aim of this arranged meeting was.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang