[BTC-37]

4.9K 958 259
                                    

Hatalla. 



"Ireni berangkat kerja..." Ya, 'kan? Sudah gue duga juga, sih. "Tadi, Ibu sudah ngelarang. Ayah juga bilang kalau dia butuh istirahat, tapi Ireni bilang kalau hari ini ada meeting penting sama direksi." Raut khawatir yang Ibu buat sejak gue sengaja pulang ke rumah Menteng siang ini masih melekat di wajahnya.

Seharusnya gue nggak usah sekaget ini juga, sih, karena selama perjalanan ke sini dari kantor Kominfo, gue juga udah mikir kalau Reni nggak bakal mau diem dan istirahat di rumah—seperti apa yang gue, Ibu, dan Ayah minta.

"Jangan dipikir berat-berat, La." Ibu menari tangan gue, membuat gue duduk di sebelahnya di sofa ruang tengah. "Ireni mungkin kepikiran kalau diem di rumah sama Ibu, makanya dia milih kerja. Ya, sama kayak kamu dan Ayah kalau lagi ada masalah larinya ke kerjaan," ucap Ibu memberitahu, mungkin Ibu sadar kalau gue sedang menahan emosi sekarang.

Mau dibilang marah juga sebenarnya gue nggak marah... Gimana, ya? I don't know how to express how I'm feeling right now. Gue lebih ke khawatir dan takut, sih. Baru dua hari lalu, gue menemukan Reni menangis keras di kamar kosannya setelah dia menghubungi gue dan meminta gue untuk datang ke kosannya tengah malam.

Cukup sulit waktu itu untuk tahu alasan apa yang membuat Reni menangis sekeras itu, sampai akhirnya—ketika Reni cukup tenang—dia memberitahu gue kalau keadaannya waktu itu ada kaitannya dengan Ibu Mita.

Don't ask me how devastated and guilty I felt when I found out, because I remembered being one of the people who advised Reni to speak with her mother, dan mendapati kalau semua ini terlalu sulit untuk dihadapinya—membuat gue ikut sedih.

Napas gue terhela kasar, bersamaan tangan Ibu yang bergerak menggenggam tangan gue. "Ibu barusan telepon Ayah, katanya mereka berdua lagi makan siang sama-sama di ruangan Ayah. Reni baik-baik aja, kok," kata Ibu, sepertinya dia berusaha menenangkan dan meyakinkan gue soal keadaan Reni.

Oke, tenang, La...

Jujur, gue sebenernya nggak masalah kalau Reni mau kerja, tapi gue cuma khawatir aja soalnya keadaan Reni terakhir kali waktu gue akhirnya membawa dia buat menginap di rumah Menteng karena gue udah nggak bisa lagi nemenin dia di kosan semalaman cukup mengkhawatirkan.

Ibu bahkan sampai nggak tidur karena ikut menjaga Reni yang masih aja menangis waktu itu, jadi waktu tahu kalau dia berangkat ngantor dan Ibu ngomong kalau Reni baik-baik aja—gue nggak bisa semudah itu merasa lega.

"Malam itu, Reni telepon Mamanya, ya, La?" Gue mengangguk, menatap ke arah bawah sambil mencoba menenangkan diri. "Dia itu masih kepikiran sebenernya, cuma ditutup-tutupi aja kemarahan sama kesedihannya."

Gue mendengar Ibu menghela napasnya kasar, "Pada dasarnya, ya, mau sebesar apa pun kesalahan Mamanya Reni, tapi Ibu percaya kalau Reni, tuh, masih menganggap Mamanya berharga. Mereka dari awal cuma hidup berdua dan cuma bisa bergantung ke satu sama lain." Cerita dari Ibu barusan gantian membuat gue mengembuskan napas kasar, merasai perasaan semacam apa yang mungkin dirasakan Reni akhir-akhir ini. "Reni cuma punya Mamanya, dia satu-satunya keluarga buat Reni and we can't deny that fact. Apalagi dari cerita Reni semalam, dia dibesarkan dari ketakutan-ketakutan Mamanya, soal Ayah Reni yang nggak pernah mengakui dia dan juga tentang keluarga Mamanya yang juga nggak pernah menganggap Mamanya dan dia jadi bagian keluarga mereka.

"Reni benar-benar cuma Mamanya sebagai keluarga, La. Dan, tiba-tiba sekarang dia harus dihadapkan situasi di mana Mamanya—" Suara decakkan Ibu terdengar, melengkapi kalimat yang nggak diteruskannya.

Makanya, gue bilang kalau Reni perlu bicara karena seenggaknya dia bisa meluapkan perasaan yang selama ini dia tahan sendirian di depan Ibu Mita—seseorang yang memang bertanggung jawab penuh dengan kondisi Reni sekarang.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang