[BTC-38]

5.4K 998 802
                                    

Reni.



"Pagi, Bu Reni."

"Selamat pagi, Ibu."

Aku mengulas senyum sambil sesekali melambaikan tangan ke arah beberapa staf ATU yang aku temui di perjalananku menuju ruangan Pak Wijaya. Seperti biasa, hari ini aku masuk lebih pagi dari biasanya untuk mempersiapkan meeting tahunan yang rutin dilaksanakan oleh perusahaan di setiap penghujung akhir tahun.

"Pagi, Bu Ren." Setelah menaruh tas dan mengambil beberapa dokumen dari meja, aku segera beranjak ke ballroom di lantai sembilan, di mana meeting tahunan ATU akan dilaksanakan dan menemukan Deryl sudah bersiap-siap di dalam ruangan meeting bersama beberapa rekan lain. "Nggak berangkat bareng Bapak?" tanyanya sambil berjalan menjauh bersamaku setelah aku menyapa beberapa staf yang sudah lebih dulu ada di ruang meeting.

Kepalaku menggeleng, sementara tatapanku mengedar ke seluruh penjuru ruangan meeting—memeriksa kelengkapan dan yang lainnya bersama Deryl yang berjalan di sampingku. "Bapak berangkatnya sama Pak Hatalla. Rendi bilang dia disuruh nganter Bapak Hatalla ke rumah Menteng sebelum berangkat ke kantor Kominfo," kataku memberitahu detail informasi yang diberikan Hatalla kepadaku.

"Pak Hatalla-nya nggak ikut meeting berarti, Bu Ren?" Deryl dan aku berhenti di depan stage yang masih dilalui beberapa kru EO yang mengurus annual meeting hari ini.

Semuanya sudah pas.

Tampilan di depan stage nggak berlebihan—itu yang terpenting—karena Pak Wijaya sudah mewanti-wantiku untuk nggak melakukan hal berlebihan terkait tampilan dan hiasan meeting hari ini.

"Ikut, kok," jawabku sambil memperhatikan layar LED di belakang area panggung yang menampilkan iklan baru dari ATU. "Tapi, kayaknya nggak sampai selesai soalnya Pak Hatalla ada kerjaan di Semarang siang ini," lanjutku, memberikan informasi lain yang aku dapatkan dari Hatalla semalam waktu kami bertemu di rumah Menteng.

"Ikut ke Semarang juga, Bu Ren?" tanya Deryl, kali ini menghadap ke arah belakang saat ada beberapa staf yang memanggil namanya.

Apa di mata Deryl aku se-nganggur itu, ya? "Just because one years ago I whined about going to Sumbawa with Hatalla, do you think I'll follow him wherever he goes? Besides, don't you grow weary of discussing the same topics over and over?"

Aku mendengkus ketika mendapati Deryl tertawa kecil sembari menghadapkan tubuhnya kembali ke arah depan. "Jangan salah paham dulu, sih, Bu. Kan, gue nanya doang? Biasanya kalau ada acara, 'kan, lo memang ngedampingin Pak Hatalla."

Yup, I understand that what he said just now was not wholly incorrect. But I also know Deryl sneaked in some jokes and laughed at the line he just uttered.

Satu tahun belakangan ini, aku dan Hatalla memang sering bepergian bersama atau lebih tepatnya, aku sering menemani Hatalla dan keluarganya datang ke beberapa acara. You may call it going public or something else, tapi hampir semua orang tahu soal hubungan yang aku jalin bersama Hatalla sekarang.

Bukan keputusan yang mudah untukku saat Hatalla mengajakku bicara soal sampai kemungkinan hubungan kami akan diketahui banyak orang kedepannya, I recall how afraid and concerned I was about how the media would take on me, about people delving into my background, and so on. Tapi, berkat Hatalla dan bantuan keluarganya dan juga sahabat-sahabatnya, apa yang aku takutkan nggak terwujud.

Berita soal hubunganku dengan Hatalla memang sempat ramai dibicarakan selama beberapa minggu, bahkan sampai menjadi trending di beberapa sosial media. Untungnya, semua berfokus benar-benar ke hubungan kami berdua, bukan ke hal-hal yang aku takutkan. Memang, sih, ada beberapa media yang mencoba menggali informasi soal backgroundku, tapi dengan bantuan Pak Narendra dan Pak Lek Tim—they couldn't find what they were looking for until news about mine and Hatalla's relationship died down.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang