[BTC-17]

4.3K 1K 455
                                    

Hatalla.





Lo pernah nggak ngerasa kayak lagi berdiri di ujung jurang, tinggal dikit lagi lo jatuh sampai lo inget memori-memori singkat selama lo masih hidup?

I just felt it, and my stupid heart nearly dropped to my feet!

Ibaratnya, kalau Ibu nggak megang tangan gue—gue beneran udah jatuh ke dasar jurang. Mampus, singkatnya.

"Sayang amat Ireni dapat modelan pasangan kayak kamu begitu!" Ibu melengos, memberikan buku menu ke Reni yang duduk di seberang kursi Ibu—di sebelah gue. "Banyak ruginya, lah, dia!" lanjutnya, melirik tajam ke arah gue.

Reni udah rugi banget kalau gitu, Bu...

Gue melirik ke arah Reni, wajah wanita itu masih keliatan pucat dan boleh nggak, sih, gue merasa bahagia sekarang? Ini, 'kan, kalau mau diartikan, Reni juga sama takutnya waktu denger apa yang Ibu bilang sebelumnya soal dia yang nggak setuju kalau gue ada hubungan sama dia? Ya, 'kan? Ini gue nggak halu, kan?

Duh, Ren, ngaca dulu coba.

It turns out you're just as scared as I am, right?

"Kamu sudah punya pacar belum, sih, Ren?"

Setelah hening yang lama karena kami sibuk memesan makanan masing-masing, Ibu kembali bersuara setelah kami selesai memesan makanan. Ia menatap Reni lurus dengan kedua tangan yang terlipat di dada, "Nggak mungkin juga kamu nggak ada pacar, sih. Mustahil," gumam Ibu, menjawab pertanyaannya sendiri.

Gue diam-diam melirik ke arah Reni, penasaran dengan ekspresi dan reaksi semacam apa yang diberikannya soal pertanyaan yang ditanyakan Ibu.

"Saya sudah ada pasangan, Bu."

Nah...

Nah....

NAH!

REN?

Mata gue membelalak lebar, sementara kepala gue langsung mengarah ke Reni yang sialannya keliatan biasa-biasa aja, padahal biasanya dia nggak kalah tantrumnya kalau gue ngelantur kayak dia sekarang gini.

Kasih aba-aba dulu bisa kali, ya, Ren?

Apesnya lagi gue sempat bertatapan dengan Ayah yang menggelengkan kepala, sebelum gue menerima tatapan sinis dari Ibu.

Ibu mendengkus, lalu kembali menatap Reni. "Kok, nggak pernah dikenalin ke kami, sih, Ren? Kan, ibaratnya kami keluarga kamu di sini," katanya berubah lemah lembut di depan Reni.

Halah, ngomong aja kalau Ibu memang pengin tahu!

Reni cuma tersenyum simpul, nggak menjawab apa-apa. Ya, gimana caranya dia mau jawab kalau yang dipacarin itu gue? Anak Ibu sendiri ini, loh?

"Ih, Ibu cuma disenyumin aja, tuh, maksudnya gimana?" Ibu memicingkan matanya, memukul pelan lengan Ayah yang duduk di sebelahnya. "Orang mana? Kerjanya apa? Jangan-jangan kerja di ATU? Atau Keminfo? Atau dapat kenalan dari tempat lain?" tanya Ibu berturut-turut, keliatan bersemangat.

Gue sebenernya merasa bersalah karena reaksi Ibu yang ingin tahu ini bisa membuat Reni nggak nyaman, tapi di sisi lain gue merasa geli karena baru pertama kalinya gue mendapati Reni ada di posisi yang sebelumnya merupakan posisi gue—yang kalau kata Reni, "Makanya, kalau ngomong di depan orang itu harus dijaga. Jangan asal ceplos aja."

Nah, sekarang dia rasain sendiri.

Tapi, asli gue nggak tega juga ngeliatnya. Baru juga gue mau membuka mulut, Ayah lebih dulu nyaut yang menurut gue sama ngawurnya.

"Ada. Orang ATU juga," sahut Ayah santai sambil menuang air putih ke dalam gelasnya.

Oke, sebaiknya gue tenang dulu—

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang