[BTC-18]

4.5K 988 370
                                    

Reni.



"Hari ini, aku yang urus Bapak, Ren."

Sebentar, apa aku salah dengar barusan?

Hari ini, hari Jumat, 'kan? Jadwal Hatalla di ATU akan jauh lebih banyak dari jam kerjanya di Keminfo, mengingat besok hari Sabtu dan Minggu di mana Hatalla biasanya akan melakukan jadwal di luar pekerjaannya di dua tempat tersebut dan semuanya aku yang mengurus.

Lalu, kenapa tiba-tiba Deryl mengatakan kalau dia yang akan mengurus semua pekerjaan Hatalla hari ini?

Mataku mengerjap lambat, mencoba memproses dan memahami situasi sekarang di mana aku baru saja akan pergi ke ruangan Hatalla untuk mempersiapkan beberapa keperluan pria itu di sana, tapi Deryl mengatakan kalau aku tidak perlu mengerjakan sesuatu yang seharusnya menjadi tugasku...

Why can't I think of anything right now?

"Maksudnya gimana, sih, Ryl?" Aku akhirnya mengurungkan langkahku untuk keluar ruangan, dan kembali berjalan mendekati meja kerjaku.

Bukannya menjawab, Deryl malah menunjuk ke arah kursiku, "Duduk dulu, Ren." Aku dengan mudah menurutinya selagi Deryl melangkah dan berdiri di depan mejaku. "Aku tanya ini sebagai rekan kerja, ya. Kita ngomongin soal profesionalitas dalam pekerjaan dulu." Deryl melipat kedua tangan di depan dada, menatapku dengan raut wajah serius.

What is going on anyway? Why did the atmosphere suddenly become so serious?

Kepalaku mengangguk, disusul Deryl—seperti kesepakatan kalau kami sama-sama tahu apa yang akan kami diskusikan sekarang. "Akhir-akhir ini, pekerjaanmu sama Bapak gimana? Lancar-lancar aja?" Aku mengangguk cepat. "Nggak ada masalah? Bapak juga?" tanyanya lagi setelahnya.

Kenapa?

... Sebentar.

Masalah? Well, ini memang bukan masalah pekerjaan, tapi lebih ke masalah pribadi dan menurutku nggak ada hubungannya dengan—

"Bapak ngasih tahu aku semalam kalau mulai sekarang dan seterusnya, semua tugas buat mendampingi Bapak selama beliau ada di ATU diserahkan ke aku." Jantungku sempat berhenti untuk sepersekian detik waktu mendengar apa yang dikatakan Deryl barusan. "Jujur aku juga kaget, tapi aku nggak bisa tanya langsung ke Bapak juga dan lebih kaget lagi waktu liat kamu di sini dan nggak tahu apa-apa...," ucapnya terdengar ragu, ditambah helaan napas panjangnya di akhir kalimat.

Aku... dipecat?

Begitu, 'kan, maksudnya?

Ah, apa karena ini Hatalla menjadi sangat pendiam di sekitarku akhir-akhir ini? Komunikasi kami benar-benar terputus setelah apa yang terjadi di Penang Bistro seminggu lalu. I can't reach him, dan setiap kali aku mencoba membahas soal apa yang terjadi malam itu Hatalla terlihat berusaha menghindar.

It's not the first time we've fought and tried to ignore each other; Hatalla and I have done it many times. Jadi, aku pikir masalah kali ini akan sama seperti masalah yang sebelum-sebelumnya di mana hubungan kami akan membaik juga pada akhirnya. But why did things turn this bad?

Hari itu—di Penang Bistro—aku terpaksa mengabaikan Hatalla karena aku pikir semuanya bisa kami bicarakan nanti, nggak di saat Ibu Ainur dan Bapak Wijaya ada di tempat yang sama dan akupun masih belum siap—aku masih terlalu terkejut—dengan apa yang aku sadari ketika kami menghabiskan waktu makan bersama dengan Ibu Ainur dan Bapak Wijaya.

Soal Bapak Wijaya yang mengetahui hubunganku dan Hatalla.

Aku nggak menyalahkan Hatalla, aku tahu kalaupun Bapak Wijaya sadar mengenai hubungan kami, itu nggak bisa dibilang kesalahan Hatalla karena aku sadar kalau aku pun bisa melakukan kesalahan sampai Bapak Wijaya akhirnya bisa tahu soal hubungan kami.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now