[BTC-06]

5.9K 1.1K 757
                                    

Reni.





"Berita yang kemarin sudah di-handle, 'kan, ya?"

Aku melihat ke arah Deryl yang dengan sigap menganggukan kepalanya, "Sudah semuanya, Pak. Trafficnya juga sudah menurun karena berita korupsi Ibu Liana dan keluarganya," ucapnya yang tampaknya membuat Pak Wijaya mengangguk puas.

"Oke." Pak Wijaya gantian menatapku. "Bapakmu nanti jadi ke sini, Ren?" tanyanya, membuatku mengangguk singkat. "Kalau gitu, nanti kita meeting sebentar, ya? Kita bertiga aja. Jam 4 sore, supaya kalian nggak kemalaman pulangnya."

Kepalaku mengangguk sekali lagi sebelum berjalan keluar dari ruangan Pak Wijaya, disusul Deryl yang sempat menjabarkan beberapa penyelesaian soal permasalahan yang ramai kemarin.

Setelah permasalahan berita yang menyangkut keluarga Adiwangsa—yang sempat menghebohkan media selama berhari-hari—baru hari ini Pak Wijaya meminta kami—aku, Deryl, dan Hatalla—datang ke ke kantor pusat Adiwangsa Tambang Utama yang ada di daerah Kuningan.

Beberapa hari sebelumnya, area depan kantor penuh dengan wartawan yang ingin menanyakan mengenai permasalahan yang sedang ramai diberitakan itu. Bukan di sini saja, tapi dari apa yang aku dengar dari Rendi, kantor Kominfo juga penuh dengan wartawan yang ingin menemui Hatalla dan melakukan interview singkat yang sayangnya tidak bisa mereka dapatkan karena Hatalla memutuskan untuk tidak berangkat ke kantornya sebelum situasi berubah kondusif dan stabil.

Aku sendiri sejak awal sudah sangat yakin kalau masalah ini akan sama cepat selesainya seperti masalah-masalah yang dihadapi keluarga Adiwangsa sebelumnya. Kali ini, cuma perlu waktu 4 hari sampai semua pemberitaan, rumor, apa pun itu hilang di media dan digantikan pemberitaan lain yang tentu jauh lebih seru untuk diikuti.

Dan orang yang ada di belakang itu semua tidak lain dan tidak bukan adalah aku dan Deryl.

Yup, the two of us did this dirty work together, which may also be described as not that dirty.

Kami mengungkap kasus korupsi terbesar yang terjadi selama 20 tahun ini, loh... Meski tujuannya untuk menutupi kasus keluarga Adiwangsa, but we are still doing well, aren't we?

"Aman."

Aku yang sengaja menunggu Deryl di luar ruangan Pak Wijaya langsung mengulas senyum, sekaligus bisa bernapas lega juga. Mr. Wijaya, like Hatalla, is a thorough and perfectionist individual who will make you dizzy and overwhelmed to the point where they only grasp the meaning of the word 'good'.

Deryl tertawa geli, dia sempat menepuk kepalaku pelan dengan map plastik yang dipegangnya. "Tegang amat, sih, Ren? Harusnya hal kayak begini sudah biasa nggak, sih?" katanya, menertawakan ketegangan yang aku perlihatkan sejak kedatanganku ke sini tadi pagi.

"Harusnya, sih, gitu?" balasku sambil meringis. Kami berjalan bersisian menuju lift, "Tapi, kalau semua menyangkut semua yang ada di sini—" Aku menunjuk ke seluruh arah, menggambarkan keseluruhan Adiwangsa Tambang Utama. "—yang harusnya biasa aja, bisa jadi luar biasa. Perut gue dibuat melilit dari semalam tau, nggak?" ocehku sambil memulai sesi curhat sekian yang hanya bisa dimengerti Deryl dan Rendi.

Aku berjalan lebih dulu saat Deryl menahan pintu lift sebelum dia akhirnya menyusul dan berdiri bersebelahan denganku. "Deg-degan banget? Semuanya udah beres padahal. Lo sendiri juga yakin kalau semuanya bakal beres waktu cap-cip-cup berita buat ngecover kemarin, kan?"

Nggak cap-cip-cup juga, sih... But, from the start, I was confident that everything would go smoothly if Deryl and I followed the plan perfectly.

Cuma kadang, 'kan, namanya rencana nggak bisa semulus itu jalannya, ya? Aku juga punya pikiran jelek di tengah prosesnya, tapi untungnya semua berjalan lancar karena berita yang kami—aku dan Deryl—pilih benar-benar bisa mengalihkan perhatian seluruh masyarakat dari berita mengenai permasalahan keluarga Adiwangsa.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang