[BTC-28]

4.6K 1K 361
                                    

Reni.





"Kamu nggak ikut meeting sore nanti? Kenapa? Saya nggak terima alasan ada urusan mendadak, pura-pura sakit dan segala macamnya! Pokoknya saya nggak mau tahu, kamu harus mendampingi saya nanti waktu meeting."

Denger sendiri, kan?

Seperti itulah tatapan yang aku arahkan—dan kalau saja mataku bisa bicara—ke arah Deryl yang berdiri di depan mejaku ketika Pak Waluyo yang sepertinya baru saja kembali dari waktu makan siangnya saat aku meminta ijin lagi—untuk kedua kalinya—mengenai absenku di meeting sore hari ini karena ada urusan mendadak.

Belum juga Pak Waluyo membuka pintu ruangannya, Deryl lebih dulu mengeluarkan suara—membuat pria paruh baya itu kembali memutar tubuhnya menghadap kami dengan wajah kejamnya. "Maaf, Pak. Tapi, Ireni belum bisa mendampingi Bapak di meeting sore hari ini."

"Heh!" Pak Waluyo lantas menunjuk-nunjuk ke arah Deryl. "Kamu itu nggak ada urusannya di sini! Jangan bikin saya makin pusing!" katanya sambil berteriak keras.

Dan seperti biasa, amarah dan teriakan Pak Waluyo yang kencang itu sudah pasti menarik banyak perhatian staf marketing dan staf lain yang kebetulan melewati koridor tempat ruangan Pak Waluyo berada.

"Ini arahan langsung dari Ibu Ainur, Pak," sahut Deryl yang membuat kedua mataku terpejam secara refleks.

Sebenarnya aku nggak ingin membawa-bawa nama Ibu Ainur, bukan cuma itu mengingatkanku soal apa yang terjadi semalam, tapi juga soal rumor-rumor yang mungkin aja datang ketika orang tahu kalau aku dan Ibu Ainur masih berhubungan meskipun kebanyakan dari mereka tahu kalau aku adalah mantan personal assistant Hatalla.

Wajah merah padam Pak Waluyo dengan cepat berubah pucat, dari gesturnya pun kelihatan sekali kalau dia sedang salah tingkah. "Ibu Ainur, istrinya Bapak Wijaya?" tanyanya seakan tidak percaya.

Aku dan Deryl sama-sama mengangguk dan membuat Pak Waluyo menatapku dengan kernyitan penuh di keningnya. Nggak lama setelahnya, tanpa mengatakan apa pun, Pak Waluyo memutar tubuhnya dan masuk ke dalam ruang kerjanya.

Begitu Pak Waluyo menutup pintu ruangannya, aku langsung mengembuskan napas lega dan menarik kursi untuk duduk di atasnya. "Sumpah, bisa tua gue lama-lama di sini," gumamku sambil menyandarkan pipi di atas meja kerjaku.

"Abis nikah juga lo muda terus, Bu."

Celetukan Deryl membuat mataku membelalak lebar, meski harus memaksa—aku mengangkat kepalaku agar bisa menatap Deryl yang masih berdiri di depan meja kerjaku. "Jangan macem-macem, Ryl!" ucapku penuh dengan nada ancaman.

Setelah kejadian semalam, Deryl yang ada di rumah sakit pun juga tahu apa yang terjadi di kamar perawatan Hatalla. Nggak cukup dia tahu soal hubungan kami, tapi Deryl juga sempat menggodaku saat dia mengantarkanku kembali ke kosan semalam.

Do not ask me about how embarrassed I am right now; if I could, I would have left my face in Hatalla's treatment room.

"Santai, lah, Bu." Sayangnya, sejak semalam Deryl nggak mau berhenti menggodaku. "Nggak ada yang tau juga ini. Kalau ketahuan juga berarti sudah saatnya go public," ucapnya sambil menaik-turunkan alisnya.

Salah satu tanganku bergerak naik, mengambil ancang-ancang seakan bergerak menonjok Deryl yang tertawa keras sambil mengambil langkah mundur. "Santai, Bu. Attitude dan manner harus dijaga mulai sekarang supaya nanti nggak ada berita miring—"

Mataku bergerak cepat—ke arah sekitar mejaku—mencari barang agar bisa aku lempar ke arah Deryl yang langsung beranjak berlari keluar dari area koridor ruangan Pak Waluyo yang juga termasuk ruanganku sambil tertawa lebar.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang