[BTC-20]

4.3K 921 180
                                    

Reni.



"Kamu dengar apa kata Mama nggak, sih, Ren?"

Aku refleks menghela napas panjang sambil sesekali menoleh ke arah sekitar, takut ada beberapa orang yang memperhatikanku atau memergokiku yang bisa dibilang sedang mangkir dari tugas karena harus meladeni Mama yang sejak tadi tidak berhenti menghubungiku.

"Nanti kita obrolin lagi, Ma," jawabku pada akhirnya. Setelah tadi Mama menjelaskan panjang lebar mengenai sesuatu yang bahkan nggak aku pahami. "Reni lagi di kantor. Kerjaan lagi banyak," sambungku membuat Mama gantian menghela napasnya panjang di seberang.

Mama sempat bergumam singkat, "Ya, sudah. Nanti Mama telpon lagi begitu kamu sampai di kosan," ucapnya sebelum sambungan telepon kami terputus.

Begitu sambungan teleponku dan Mama terputus, napasku terhela kasar dan panjang. Today was really very tiring, not enough with my new job desk as secretary to the general manager, which was more confusing than the previous job desk. I also still had to deal with the matchmaking problem that Mama kept bringing up to this day.

Oh, ya, kalian nggak salah dengar waktu aku mengatakan bahwa pekerjaanku yang sekarang jauh lebih sulit dibanding dengan pekerjaanku sebelumnya saat aku menjadi personal assistant Hatalla.

"Ireni!"

Ini dia.

Pak Waluyo berdiri dengan kedua tangan ditekuk di sisi pinggangnya, menatapku tajam. "Kamu dari mana aja? Sekarang belum waktunya istirahat! Dokumen-dokumen yang saya minta tadi sudah kamu periksa belum? Kenapa sampai sekarang belum ada di meja saya? Jangan bilang belum selesai, ya! Itu butuh untuk saya kasih ke direksi malam ini juga untuk bahan meeting besok, Ireni! Saya sudah kasih ke kamu pagi tadi, dan seharusnya sudah selesai sekarang, kan?"

Sepertinya sudah 2 hari ini aku mendapatkan tatapan prihatin dari staf lain yang kebetulan memperhatikanku atau tidak sengaja melihat Pak Waluyo memarahiku di depan umum, seperti sekarang contohnya.

Aku sempat bertemu tatap dengan tatapan kasihan dan prihatin yang diberikan staf lain kepadaku ketika Pak Waluyo menegurku dengan suara super keras di depan koridor di dekat ruangan kerjanya.

"Mana dokumennya, Ireni?" bentak Pak Waluyo lagi. "Kamu kerja mudah begini aja nggak becus! Pantas aja Pak Hatalla nggak betah kerja sama kamu! Harusnya kamu bersyukur karena saya mau terima kamu, kalau nggak? Kamu udah pasti terlantar di luar sana, Ren!"

Apa dia nggak tahu, ya, kalau sampai detik ini—sekarang—hari ini—aku masih mendapatkan banyak offering letter dari perusahaan lain di emailku?

Kalau saja aku mau, aku bisa langsung pindah dengan mudah. What did he say? That he won't accept me? Gosh, how can someone like this still keep working here, anyway? That should be my question, right?

Aku lebih dulu menarik napas panjang dan membuangnya perlahan sebelum melebarkan senyum tipis di depan Pak Waluyo yang langsung terdiam, "Semua dokumennya sudah saya selesaikan dan sudah saya berikan ke tim direksi, Pak. Salinannya silakan diperiksa di email Bapak. Saya akan print out semua dokumennya sebelum Bapak menghadiri meeting besok," jelasku, berusaha membuat Pak Waluyo paham.

I would rather not have my professionalism messed with in this way. Everyone is unaware of how much effort and hard work I have put in, so I refuse to take such criticism and name-calling from people who are not even close to me.

Pak Waluyo berdehem, dia membuang pandangannya ke arah lain—tampak salah tingkah. "Balik ke mejamu, saya ada pekerjaan lain yang harus kamu periksa," katanya lebih dulu berjalan kembali ke ruangannya.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now