[BTC-34]

4.4K 930 244
                                    

Reni.



Have you ever felt confused and frustrated to feel so many happy things in a row when your life is actually such a mess?

'Apa ini masuk akal?' 'Apa orang-orang hanya sedang mencoba menghiburku?' 'Apa mereka benar-benar tulus?'

Well, akhir-akhir ini aku nggak berhenti merasakan perasaan semacam ini. Di tengah kerumitan hidupku, rasanya sangat susah dipercaya dan mustahil bagaimana bisa aku merasakan kebahagiaan sebesar ini di hidupku?

Di sela perasaan bahagia yang aku rasakan, aku juga merasa takut dan khawatir di waktu yang bersamaan.

Bisa dibilang, aku terus-terusan merasa gelisah apalagi ditambah fakta kalau ada beberapa masalah baru—yang nggak begitu besar sebenarnya—mendadak muncul satu per satu ke hubunganku dan Hatalla yang baru saja ingin kami perbaiki bersama.

Satu tahun.

Hatalla, syarat dari Ayah, dan rencana pernikahan kami.

Baru saja Hatalla mengatakan semuanya, dia mengungkapkan apa yang disepakatinya bersama Ayah. Sebenarnya untuk dibilang kesepakatan juga rasanya kurang pas karena Hatalla sama terkejutnya denganku, dan mungkin bisa dibilang dia terpaksa menerima persyaratan dari Ayah itu.

"Gimana, Ren?"

Apanya?

Aku menatap Bapak Wijaya sambil mengerjap pelan, mencoba mengumpulkan fokusku yang aku biarkan berkelana di saat Pak Wijaya sedang menerangkan mengenai perubahan jadwalnya minggu ini.

"Kamu ngelamun apa?" tanya Pak Wijaya membuatku tersenyum segan.

Astaga, Ren, jangan malu-maluin begini, lah! "Maaf, Pak. Untuk perubahan jadwalnya tadi—"

"Saya nanya apa, kamu jawabnya apa." Kepala Pak Wijaya menggeleng pelan. "Mikir apa, Nak?"

Kepalaku langsung tertunduk, aku merasa malu sekaligus kesal karena aku menunjukkan sisiku yang tidak profesional ini di depan Pak Wijaya. It feels like only yesterday that I pledged to do my best, but look who is breaking that promise now.

"Saya minta maaf, Pak." Aku menundukkan kepalaku dalam, berusaha menunjukkan permintaan maafku yang tulus di depan Pak Wijaya. "Lain kali, saya akan lebih fokus lagi ketika bekerja. Saya nggak akan mengulangi lagi kesalahan semacam ini, atau menunjukkan sisi saya yang tidak profesional seperti ini di hadapan Bapak untuk kedepannya," kataku, mengucap janji lain—yang aku harap bisa aku tepati—di depan Pak Wijaya yang tampak duduk santai di kursinya.

Mataku terpejam ketika mendengar bagaimana helaan napas kasar Pak Wijaya terdengar memenuhi ruangan kerjanya.

Ren, you have made a big mistake...

"Duduk, Nak." Jantungku semakin berdegup kencang, sementara itu mataku perlahan terbuka. "Duduk sana." Pak Wijaya mengangguk dan mengulangi ucapannya saat aku menatapnya barusan.

Dengan perasaan yang campur aduk, aku menarik kursi di depan meja Pak Wijaya. "Terima kasih, Pak," gumamku pelan sebelum duduk di sana.

"Kamu kalau kerja sama Hatalla juga begitu?" Huh? Maksudnya? "Pastinya nggak sekaku itu, 'kan? Sama Ayah kamu juga nggak perlu sekaku itu? Memang kamu pernah liat saya menghukum cambuk karyawan yang melakukan kesalahan?" Aku menggelengkan kepala pelan. "Makanya! Gitu kamu tadi aja udah kayak terdakwa bakal kena cambuk saya aja, Ren... Ren..."

Susah juga menjelaskannya ke Pak Wijaya sekarang, tapi sebelum bersama Pak Wijaya—even though I'm in a relationship with Hatalla, I maintain a high level of professionalism.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now