[BTC-26]

4.6K 951 385
                                    

Reni.





Despite the fact that we had to start over, I believe things have returned to normal or even better.

Tapi, ternyata semuanya salah. Ternyata semuanya nggak berjalan sesuai dengan dugaanku.

Aku terdiam, menatap connecting door antara kamarku dan kamar yang ditempati Hatalla sejak 30 menit yang lalu. He stated that he had an urgent situation and wanted to call someone, dan tidak kembali ke sini meski aku sudah terang-terangan menyuruhnya datang lewat chat beberapa menit yang lalu.

Sahid.

Ini semua gara-gara dia.

Sebenarnya sudah dari beberapa bulan lalu, Sahid kerap mencoba menghubungiku—baik itu lewat chat seperti yang tadi dibaca Hatalla atau bahkan lewat missed call yang seringnya aku abaikan—menanyakan pertanyaan yang kurang lebih sama.

Apakah aku menerima lamarannya?

Aku memang pernah mendengar soal tawaran lamaran ini dari seseorang beberapa waktu lalu, tapi seingatku aku tidak pernah mengiakan lamaran itu—aku tidak memberikan jawaban apa pun, aku malah menolak dan mengabaikan dengan terang-terangan.

Aku pikir semuanya sudah diselesaikan meski Sahid masih sering mencoba menghubungiku, tapi kalau dilihat dari gigihnya pria itu—sepertinya semuanya belum berakhir. And it appears that the one who is responsible for all of these issues also has no clear answers for Sahid and his family.

Look how much trouble that woman got me into...

Oh, jelas, aku menyalahkannya meski aku juga salah karena nggak tegas ke Sahid yang juga sering menghubungiku. Pada dasarnya, masalah ini muncul karena keputusan wanita itu sendiri, 'kan?

Dengan dalih kalau aku harus punya pasangan yang setara, but look where she is now... Chasing something she should never have reached, something she should never have dreamed of—something that she reminded me every day that I should never do and feel—but what is she doing now?

Napasku terhela kasar, begitu juga dengan mataku yang langsung memejam.

Lupakan, Ren...

Nggak perlu diingat lagi...

Itu bukan hal penting lagi. Dia—mereka—sudah membuangmu—dan mereka nggak pantas untuk mendapatkan bahkan sedikit dari perhatianku sekarang.

Nah.

Mataku langsung refleks terbuka saat aku mendengar suara pintu terbuka, dan di sana—di depan connecting door—aku melihat Hatalla dengan wajah datarnya memasuki kamarku.

Jangan ketawa, Ren.

Aku sudah pernah bilang belum kalau aku suka sekali membuat Hatalla marah—tentu sebelum ada masalah kemarin muncul—karena aku bisa melihat sisi lain dari pria itu yang tidak pernah ditunjukkannya selain di hadapanku.

Kecemburuan Hatalla bukan cuma terasa dan terlihat panas dan membuatku kewalahan sendiri, but it is also incredibly cute.

Seperti sekarang ini.

"Dia Kepala Sekolah?" Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir Hatalla. Nggak benar-benar mengejutkanku karena Hatalla memang bisa secepat itu tahu hal begitu dengan mudah, apalagi ini ada kaitannya denganku dan juga hubungan kami. "Umurnya hampir 40. Tua banget buat kamu yang masih 30," katanya sambil menyilangkan tangan di depan dada dan bersandar di depan connecting door yang sudah ia tutup.

Lucu banget, kan?

Tapi, soal Sahid yang sempat disinggung Hatalla barusan... Kalau boleh jujur, aku lupa-lupa ingat soal pekerjaannya. "Mungkin?" jawabku sambil mengedikkan kedua bahu. "Tapi, umurnya baru 32 kalau nggak salah." Kedua mata Hatalla membelalak lebar, mungkin dia nggak menyangka karena aku bisa mengingat umur Sahid. "Kalau umurnya dia yang 32 aja kamu bilang hampir 40. Kamu yang 34 berarti hampir 50? Tua kamu dong?" tanyaku pura-pura memasang wajah polos meski perutku sudah hampir kaku karena menahan tawa.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang