[BTC-09]

4.1K 884 193
                                    

Hatalla.

"Pak Santoso tadi pagi ke kantor gue."

Perlu banget ini ngomong masalah ini sekarang? Di acara soiree yang harusnya menyenangkan? Di depan flute champagne gue yang masih tersisa banyak?

Gue mengabaikan pembicaraan Putra dan Yuwa di sebelah gue yang membicarakan soal Pak Santoso—orang tua dari Malik? Malaka? Siapa, sih, nama anaknya? Kok, mendadak gue jadi lupa? Ya, begitulah...

"Mau mulai bisnis baru?" tanya Yuwa ke Putra yang sayangnya masih bisa gue dengar karena yang lain ikut tertarik dengan obrolan dua orang pria yang hari ini katanya membawa kabar bahagia.

Putra menggeleng, "I think their family has an internal issue related to inheritance and shares in Tech. Id. It hasn't been out in the media yet, but it's already starting to be talked about, among others," ucapnya sambil menunjuk ke arah kumpulan tamu yang datang ke acara soiree keluarga Yuwa sore ini.

"Masalahnya perasaan itu-itu aja. There was no change. I'm sick of hearing it." Tyaga ikut menimpali, membuat gue mendengkus.

Lagak lo!

However, Tyaga's statement is not wholly incorrect. Masalah-masalah yang terjadi di sekitar kalangan kami sebenarnya nggak pernah jauh dari kata warisan dan saham, atau lainnya seperti korupsi dan sadarnya masyarakat soal seberapa tamak dan jahatnya kami.

Werni yang berdiri di sebelah gue juga ikut menganggukan kepalanya setelah mengambil flute champagne lain, "If not that, it is about matchmaking. Udah muter terus aja di sana."

"Ngomongin soal itu." Nah ini, yang nggak gue suka. Tyaga menolehkan kepalanya ke arah gue. "Lo gimana, deh, Mas? Jadi sama Malaika?" tanyanya sok polos kayak gue bakal ngasih dia jawaban sedangkan gue rasanya udang pengin nonjok dia aja sekarang.

Gue berdecak, menyesap sedikit champagne di flute yang gue pegang. "Do you have any other topics that would be more advantageous to discuss than the one you just asked about?" tanya gue balik, penuh dengan nada sarkasme yang memang nggak lagi gue tahan.

Nggak tau kenapa, membahas Malaika selalu membuat gue nggak nyaman. I mean, ini bukan pertama kalinya gue dikenalkan—dijodohkan—dengan perempuan kenalan Ibu, tapi nggak tau kenapa sejak kenal Malaika gue tau kalau dia agak beda dengan wanita lain yang pernah gue kenal dan itu bukan dalam artian yang baik, ya.

I felt something was awry when I saw her at my parents' place speaking with Mom and Reni.

Dan bicara soal Reni—wow, it was really fast to switch the topic to Reni, huh? Gue sebenarnya bingung dan sedih karena sampai hari ini kami belum benar-benar berbaikan. I realize it's only been one day, but it feels like a thousand years, and I can't stop wanting to hug, cuddle, and kiss her—

"Kok, malah ditinggal ngelamun?"

Gue beneran nggak bisa... Gue merasa tersiksa waktu tau Reni dan gue sedang nggak baik-baik aja kayak sekarang. It is very suffocating, and I do not like how I am feeling right now.

Kata yang lain, gue perlu memberikan Reni space untuk mencerna apa yang terjadi karena kecerobohan gue membuka hubungan kami di depan sahabat-sahabat gue.

Tapi, kalau boleh jujur, sejak seharian kemarin—di saat gue juga punya waktu untuk diri gue sendiri—gue juga jadi banyak berpikir soal hubungan kami dan rasanya gue sedikit lega karena hari itu gue memutuskan untuk keceplosan atau pada dasarnya secara nggak sadar, gue memang sengaja—setelah menemukan timing yang pas—untuk memberitahu mengenai hubungan kami ke sahabat-sahabat gue.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now