[BTC-03]

8.1K 1.1K 912
                                    

Hatalla.





Apes!

"Dan di sisi lain, kami akan berpindah ke PT. Adiwangsa Tambang Utama yang beberapa saat lalu juga menarik perhatian banyak orang karena sengketa dan kerusakan lahan. Pertama, kami akan membahas sosok Wijaya Hardi Adiwangsa yang tahun ini kembali masuk ke jajaran orang terkaya berkat bisnisnya bersama PT. Adiwangsa Tambang Utama, salah satu eksportir terbesar batu bara dunia. Kekayaannya ditaksir mencapai US$ 3,65 miliar dan menjadikannya sebagai salah satu sosok berpengaruh di dalam negeri.

"Kita lalu beralih ke salah satu fakta menarik lainnya yang juga sama menarik perhatian masyarakat, terutama kaum hawa yaitu sosok Hatalla Adiwangsa yang merupakan satu-satunya anak sekaligus kabarnya akan menjadi penerus dari Wijaya Hardi Adiwangsa di PT. Adiwangsa Tambang Utama. Hatalla Adiwangsa sendiri sekarang menjabat sebagai salah satu dewan komisaris yang rumornya akan diangkat menjadi Presiden komisaris di PT. Adiwangsa Tambang Utama.

"Selain menjabat sebagai dewan komisaris, Hatalla Adiwangsa juga bekerja sebagai Direktur Komunikasi Publik di Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Di umurnya yang baru menginjak 34 tahun akhir tahun kemarin, Hatalla Adiwangsa dikenal sebagai salah satu tokoh muda sukses yang menjadi banyak panutan bagi para remaja. Tapi, semua prestasi keluarga Adiwangsa ini harus tercoreng karena permasalahan rusaknya dan sengketa lahan salah satu usaha pertambangannya—"

APES!

Gue menarik remote, mematikan televisi sebelum menghela napas kasar sambil menatap Deryl—asisten gue yang lain—yang fokusnya cuma membantu gue di ATU. "Kok, bisa masalahnya berkutat di situ-situ aja, sih? Nggak bosen apa mereka ngebahas masalah itu mulu?"

"Beritanya di up lagi, Pak." Ya, kali alasan kayak begitu aja gue nggak tau? "Yang saya dapat kabarnya, back up di bagian medianya cukup kuat, Pak. Kalau dari sini, sih, ketahuan orang yang ada di belakang semua ini cukup berpengaruh, Pak," terang Deryl, mengutak-atik iPadnya.

Tatapan gue mengarah ke Reni yang terlihat menaikkan salah satu alisnya, "Ini ulahnya si Rasyid itu berarti, Ren?" tanya gue, mengingat obrolan antara gue, Reni, dan Ayah lewat sambungan telepon semalam.

Reni mengangguk, "Betul, Pak." Ia lalu memberikan iPadnya ke arah gue yang ia salurkan dari Deryl yang berdiri di sebelah sofa gue. "Dari pertemuan saya dengan Pak Rasyid dua hari lalu, saya dapat informasi kalau Pak Rasyid dan beberapa rekanan lain mencoba mengangkat kembali masalah soal sengketa dan rusaknya lahan pertambangan ATU, Pak."

Sambil mendengarkan penjelasan Reni, gue membaca laporan—yang didalamnya berisikan beberapa halaman—tentang informasi yang berhasil didapatkan Reni dari pertemuannya dengan Rasyid.

Tsk, while remembering Rasyid, I also remembered Reni, who had lied to me when she met that old fart. Gue tahu ini bukan saat yang tepat buat mikirin hal begituan, sayangnya gue masih kesal karena gue sampai perlu diboongin banget buat hal-hal yang semestinya gue tahu karena semuanya ada kaitannya dengan gue juga, kan?



"Tawaran untuk ketemu Pak Rasyid itu datangnya mendadak, dan aku cuma bisa koordinasi singkat sama Pak Wijaya karena kalau aku perlu bilang juga ke kamu—saat itu juga—aku nggak punya waktu buat meladeni tingkah tantrum mu dan bikin kerjaanku berantakan."




Itu Reni sendiri yang bilang.

Ya, dia bilang kalau dia nggak punya waktu buat meladeni tingkah tantrum gue. Gila, memang gue se-tantrum apa, sih, waktu tau kalau cewek gue sibuk kerja?

Gue kemarin berulah juga karena Reni nggak ngasih kabar apa-apa, di saat gue khawatir bukan main waktu tau kalau dia sakit dan nggak ngasih tau gue.

Selama kami pacaran—kurang lebih 5 tahunan—gue tau Reni, tuh, bukan tipikal perempuan yang mau susah sendirian. Kalau dia sakit, gue pun harus ikut ngerasain sakit. Gila emang, tapi gue sadar kalau gue lebih suka begitu karena gue bisa tau dengan jelas keadaan Reni.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now