[BTC-33]

4.4K 956 286
                                    

Hatalla.



"Kamu lebih suka dibunuh daripada fokus soal persyaratan yang Ayah kasih kemarin, La?"

Menurut Ayah sendiri gimana?

"Waktu satu tahun yang Ayah kasih itu singkat, sementara apa yang harus kamu selesaikan banyak! Masih aja kamu nggak mau denger omongan Ayah? Ayah harus ngomong pakai cara apa lagi supaya kamu bisa ngerti kalau ini nggak main-main, La! Kalau kayak gini, mending nggak usah diterusin aja hubunganmu sama Reni, biar bubar sekalian!"

Sembarangan!

Amit-amit, ih!

Gue melirik sebentar ke arah Ayah, dari tadi gue sebenernya udah mau ngejelasin tapi Ayah kayaknya masih nafsu banget buat ngata-ngatain gue. "Ayah denger cerita apa dari Ibu? Sejak ketahuan sama Ayah kemarin, aku sama Reni malah belum ketemu sama sekali, Yah," jelas gue sedikit demi sedikit waktu melihat keadaan Ayah sudah agak tenang.

"Who do you think you are fooling?" Dengan raut murkanya, Ayah menimpal cepat. "Ibu cerita kalau kamu nginep sama Reni! Pokoknya nggak pantes, Ayah sendiri malu ngomong di depan kamu kayak sekarang ini, La!"

Untung aja, 'kan, gue bisa ngebujuk Ayah buat ngobrol baik-baik di ruang kerjanya dan akhirnya cuma gue yang denger makian dari Ayah, meskipun lengan gue rasanya nyut-nyutan kena tonjok—asalkan Reni—yang kayaknya sudah datang lebih dulu ke rumah—nggak khawatir.

Berdiri di depan meja kerja Ayah, gue menggelengkan kepala. "Hatalla sama Reni dari kemarin sampai hari ini belum ketemu sama sekali, Yah." Gue mengulang lagi ucapan gue sebelumnya, membuat Ayah memutar kursinya menyamping—nggak lagi mengarah lurus ke arah gue. "Semalam Hatalla ada ketemu sama Algis dan Narendra, kami ke Bleues Notes sampai pagi. Tanya ke Deryl kalau memang Ayah nggak percaya." Ayah masih belum bereaksi juga. "Semalam, kayaknya Hatalla rada mabuk—dikit. Dan, ya, paginya jadi ngomong ngaco waktu Ibu mampir ke rumah Hatalla.

"Toh, Ibu sama Deryl tadi pagi—di hari yang sama—pergi jemput Reni buat nganterin Reni ke kantor, Yah. Jadi, ya, mana mungkin Reni ada di rumah Hatalla—"

"Kalau kamu orangnya, apa yang nggak mungkin bisa jadi sangat mungkin, La." Ayah memotong ucapan gue, dia melirik tajam sebelum memutar kursinya menghadap ke arah gue lagi. "Jangan sampai, ya, La, Ayah kehilangan kepercayaan sama kamu," katanya yang berhasil membuat gue menghela napas panjang.

Seharusnya, malam itu gue nggak menyentuh cocktail yang gue pesan secara sembarangan itu. Seharusnya gue dengerin apa yang dibilang Algis buat pesen air putih atau apa pun minuman yang nggak mengandung alkohol.

Tapi, takdir emang suka main-main sama gue.

If I'm being honest, this isn't my first time being drunk. Dulu jaman kuliah dan awal-awal kerja di ATU, gue beberapa kali mabuk dan bahkan dipulangkan ke rumah Menteng—bukan rumah gue sendiri—tapi, gue nggak pernah se-ngaco semalam dan tadi pagi.

Mungkin saking kangennya gue ke Reni kali, ya? Atau karena setelah kejadian di mana Ayah memergoki kami berdua, gue tau kalau pertemuan kami nggak akan bisa sesering dan se-intens dulu—gue jadi frustrasi duluan.

Ini itungannya baru sehari, gue udah ngaco kalau Reni ada di rumah gue—terlepas gue lagi mabuk dan apa pun itu—dan membuat keributan di depan Ibu yang jelas aja murka ngeliat kelakuan gue.

"Ayah ingetin sekali lagi, ya, La. Kamu yang sekarang—yang belum punya apa-apa ini—harusnya malu kalau mau berhadapan dengan Ireni, apalagi kamu punya misi—mau menikahi dia." Ayah kembali buka suara, dia juga ikut menunjuk kursi yang ada di hadapannya. "Siapa yang nyuruh kamu duduk?" Gue kembali berdiri, mengurungkan niat untuk duduk. Bukannya barusan Ayah yang nyuruh gue duduk, ya? "Pinggirin kursinya! Kamu berdiri depan situ!"

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now