[BTC-02]

9K 1.2K 916
                                    

Reni.



"Widuri Ireni? Namamu Indonesia banget, ya?"

What kind of conversation is this?

Aku tertawa—terpaksa—sambil menundukkan kepala untuk menetralkan raut wajahku agar tidak terlihat menyebalkan di depan Pak Rasyid—salah satu politisi yang mencuri atensi banyak kalangan karena sikap ceplas-ceplosnya dalam bekerja dan di depan media.

Mendengar suara tawa Pak Rasyid, kepalaku kembali terangkat. "Kamu aslinya orang mana? Keturunan apa?" tanyanya lagi, jauh dari ekspektasiku saat datang ke Kenjiro untuk memenuhi undangan Pak Rasyid dari asisten pribadinya yang menghubungiku kemarin sore.

Kembali duduk tegak di atas kursi, aku mengarahkan tatapan lurusku ke Pak Rasyid yang asyik menikmati Eihire pesanannya. "Saya asli orang Malang, Pak. Ibu saya orang Jawa, sementara pasangan Ibu saya asalnya dari Venezuela," jawabku lengkap, terlepas dari perasaan aneh ketika menjawab pertanyaan Pak Rasyid barusan.

"Kamu dari kecil di sini?" Aku mengangguk. "Asli Malang berarti?"

"Betul, Pak." Aku menundukkan kepala singkat ketika menerima ochoko berisikan dassai 23 dari Pak Rasyid. "Saya baru pindah ke Jakarta ketika lulus kuliah," jawabku sambil menggumamkan terima kasih.

Kepala Pak Rasyid mengangguk-angguk, dia menenggak cepat dassai dari ochokonya dalam segali tegukan. "Langsung kerja sama Adiwangsa?"

"Belum, Pak." How many times do I have to answer questions like these, duh? "Saya sempat modelling sebentar, sampai akhirnya keterima di Adiwangsa Tambang Utama," jelasku di sela kegiatan Pak Rasyid yang kembali menuangkan dassai ke dalam ochokonya.

"Jauh juga loncatnya, ya?" Aku cuma tersenyum saat Pak Rasyid menunjuk ochokoku—sebuah gestur yang menyuruhku untuk ikut meminumnya. "Dari modelling ke Adiwangsa, ya...," gumamnya pelan. Tatapannya juga berubah menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kamu melamar kerja sendiri ke sana? Atau dapat tawaran untuk kerja di sana, Ren?"

Aku melepaskan tangan dari ochoko dan menyatukan kedua tanganku di atas pangkuan. "Kebetulan agensi modelling yang menaungi saya waktu itu milik keluarga Surya Kama, Pak," terangku, berhasil menarik atensi Pak Rasyid.

"Si Werni?" tanyanya.

Kepalaku mengangguk, "Sebenarnya saya pergi ke Jakarta itu bukan untuk jadi model, Pak. Modelling itu bisa dibilang bukan pekerjaan impian dan yang saya inginkan setelah berpikiran untuk pindah ke Jakarta."

"Salah nyemplung? Maksudnya gitu?" sahut Pak Rasyid sekali lagi.

Aku kembali mengangguk, "Beberapa orang tahu kalau saya juga sedang berusaha mencari pekerjaan lain, dan saya dapat tawaran untuk kerja dari Bapak Werni yang bilang kalau Adiwangsa Tambang Utama sedang butuh staf. Akhirnya saya kerja di sana atas rekomendasi dari Bapak Werni, mulai dari staf, ke management secretary sampai jadi personal assistant-nya Pak Hatalla."

The world is small, and I'm done proving it, right?

"Gimana kerja sama Adiwangsa?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari bibir Pak Rasyid. "Dari modelling terus kerja di Adiwangsa, sudah pasti ada culture shocknya, dong? Especially when it comes to the conglomerate family, which appears to be quite clean." Kedua alis Pak Rasyid bergerak naik-turun ketika membalas tatapanku.

Oh, how horrible...

Pada akhirnya, semuanya selalu sama.

Berawal dari keingintahuan mereka dengan mengatasnamakan etos kerja dan tawaran pekerjaan yang lebih menarik untukku, they will all fall into the same hole: their curiosity about the Adiwangsa family.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now