Part 2 : Pemakamam

1.7K 134 12
                                    

Kini, tak terasa pemakaman wanita itu sudah selesai. Sedangkan si gadis masih menatap makam sang ibu dengan tatapan kosong. Lalu, lamunan gadis itu buyar saat seseorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun menghampirinya.

“Apakah Anda Nona Freya Leonara?” sapanya.

“Iya,” jawab gadis itu lemah. Tatapannya masih kosong.

Iwan menyodorkan sehelai kartu nama pada Freya. “Perkenalkan, saya Iwan Saputra. Pengacara ibu Anda, Sarah Azalea.”

Freya meraih kartu nama itu, tapi matanya tetap tertuju pada makam sang ibu. Iwan sangat prihatin melihat Freya yang terlihat seperti mayat hidup. Respon dingin gadis itu tidak menyurutkan niatnya yang telah bulat. Iwan kembali membuka percapakan. “Beliau telah berpesan kepada saya, apabila sesuatu terjadi padanya maka saya yang akan mengurus Anda.”

Freya hanya terdiam, masih enggan untuk berbicara.

Merasa apa pun yang ia katakan takkan didengarkan selama mereka berada di sana. Akhirnya Iwan menggandeng tangan si gadis kecil dan membimbingnya ke mobil yang ia parkirkan.

“Mari, kita bicara di tempat lain.”

Freya mengangguk pelan dan mengikuti pengacara tersebut.

Setengah jam kemudian tibalah mereka di sebuah cafe. Cafe dengan suasana alam yang asri dan memukau. Cafe tersebut berada di pantai. Menyuguhkan pemandangan indah sejauh mata memandang. Namun, seindah apa pun tempat yang mereka datangi gadis itu masih bergeming.

Iwan memesankan beberapa kue ringan dan minuman cokelat untuk si gadis kecil. Namun hinga pesanan tersebut tersaji rapi di atas meja, Freya tidak menyentuhnya sama sekali. Mata biru laut dalamnya masih betah menatap ke arah pantai yang sedang disapu oleh gelombang laut yang menari-nari. Tapi pikirannya, tak satu pun berada di tempat itu.

Pengacara itu kembali menarik napas panjang. Tampaknya butuh perjuangan berat penuh kesabaran untuk membuat gadis kecil itu memperhatikannya.

“Nona, saya turut berduka atas kematian ibu Anda. Ia adalah orang yang sangat mengagumkan. Kepergiannya ini terlalu cepat,” Freya masih belum menunjukkan ketertarikan untuk mendengarkan sama sekali, Iwan melanjutkan kembali, “tiga tahun yang lalu, saat ia pertama kali divonis mengidap kanker, ia menulis sebuah surat dan menitipkannya kepada saya untuk memberikannya kepada Anda jika ia tidak mampu selamat dari penyakitnya.”

Iwan meletakkan sebuah surat yang sejak tadi ia simpan di jasnya. Ajaib, kurang dari sedetik perhatian Freya sudah berada seutuhnya di tempat ini. Matanya menatap tajam surat berstempel merah di depannya.
Freya beralih menatap Iwan penuh arti. Kemudian Iwan mengangguk dan tersenyum kepadanya. Segera Freya raih surat yang ada di depannya. Ia membuka surat itu dengan hati-hati. Keringat mengalir dari keningnya yang putih. Jantungnya berpacu dengan cepat menanti isi surat tersebut.

Saat surat itu terbuka kerongkongannya yang kering semakin terasa menyiksa. Setiap baris yang ia baca menyakiti dirinya dengan batu-batu besar tak kasat mata yang terus menghantamnya tanpa ampun. Lalu, satu kalimat yang tertulis di sana membuatnya terkejut. Seperti tersambar petir di siang hari. Tanpa peringatan maupun pemberitahuan sebelumnya.

Dadanya terasa sesak, tercabik-cabik, dan dikoyak dengan keji. Ia tak mampu lagi menahan semua kenyataan yang tertulis dalam selembar kertas itu. Air mata yang disangkanya telah kering kini kembali berjatuhan membasahi pipinya hingga gaun hitam yang ia kenakan. Freya meraung-raung, memegang dadanya yang sangat kesakitan lalu tertunduk hancur.

Iwan bingung apa yang terjadi, ia segera menghampiri Freya dan menyambar surat yang berada di tangan gadis itu tanpa perlawanan. Saat melihat isi surat yang ia bawa, Iwan terbelalak kaget. Tak disangka, rekan kerjanya selama ini memendam sebuah rahasia besar selama bertahun-tahun. Walaupun sebenanya ia tidak terlalu terkejut dengan hal ini, sebab kemampuan Sarah dalam menyembunyikan rahasia memang luar biasa.

Iwan teringat dengan pria percaya diri yang pernah menemui Sarah di kantor dulu, ia curiga bahwa rahasia yang disembunyikan Sarah erat kaitannya dengan pria itu. Iwan menarik napas panjang sebelum menenangkan gadis kecil yang tengah meringkuk di kursi menyerupai gumpalan bola dan terlihat akan hancur setiap detiknya. Ia memeluk gadis kecil itu, memberi kehangatan kepada si gadis kecil kalau ia tidak akan sendirian menghadapi kenyataan pahit itu.

“Dengar Freya, mulai hari ini Paman yang akan mengurusmu. Paman yang akan mendukungmu dan membantumu meraih apa yang menjadi wasiat ibumu. Kau tidak sendirian, Nak,” kata Iwan sambil mengelus puncak kepala Freya.

Freya mengangguk lemah dan kembali membenamkan kepalanya di pelukan sang pengacara.

---**---

To be Continued

Thanks for reading and your voment 😊

Eye of Heart [COMPLETED]Where stories live. Discover now