Part 11 : Ancaman Isaiah

859 71 4
                                    

Malam semakin gelap, sinar rembulan tertutup awan yang ditiup angin. Sedikit cahaya rembulan lolos dari awan. Ia menyinari wajah lelaki yang tengah berjalan dengan tegap dan memancarkan kharismanya.

Mata birunya memandang sekumpulan lelaki yang luka-luka dan diikat. Tio menatap Ryu nanar.

Ryu tidak memperdulikan tatapan Tio sama sekali. Ia berpikir bagaimana caranya untuk menyelesaikan persoalan ini. Ia menatap Bam yang berada di belakangnya.

"Bam, apa yang harus kita lakukan dengan mereka? Aku tidak ingin masalah ini menjadi menyusahkan, tapi aku juga muak sekali dengan kelakuan rendahan mereka," tanya Ryu

"Kau bisa menyerahkan mereka ke petugas kedipsiplinan tapi kuyakin kabar mengenai hal ini akan menyebar dengan cepat, tentu akan berakibat buruk kepada gadis itu. Pilihan kedua kau bisa membebaskan mereka dan menganggap semua ini tidak pernah terjadi, tapi aku tidak tahu apakah mereka akan jera atau akan mengulangi perbuatan mereka lagi," jawab Bam sambil menimbang-nimbang setiap pilihan yang ada. Ia mencoba menjawab dengan volume suara yang hanya bisa di dengar olehnya dan Ryu.

Ryu mengacak-ngacak rambut hitam pekat miliknya. Setiap pilihan tidak ada yang pas menurutnya.

Tio memandangi Ryu dengan saksama. Ia merasa mengenal laki-laki itu, tapi entah dimana ia pernah bertemu. Ia mencoba menggali lebih dalam lagi ingatannya. Lalu salah satu ingatannya membuatnya bergidik ngeri, ia membeku. Tatapannya yang menantang Ryu sedari tadi berubah menjadi tatapan ketakutan. Ryu menyadari perubahan sikap Tio, ia menyeringai.

"Tampaknya ada pilihan ketiga Bam, mengapa kita melupakannya?" kata Ryu tiba-tiba. Bam awalnya bingung, lalu ia segera mengerti saat melihat Tio.

"Kau memang benar Ryu," kata Bam setuju.

Ryu berjalan menghampiri Tio, sekarang ia berhadapan dengan laki-laki yang menatapnya dengan takut. Menyadari keberuntungan berpihak padanya, Ryu menatap Tio dengan tatapan mengintimidasi. Ia yakin sekali rencana ini mustahil gagal.

"Mungkinkah kau.. Ryu Isaiah?" tanya Tio gemetaran

"Kukira kau sudah mengenalku dari awal. Awalnya aku sempat kaget, baru kali ini ada yang berani berkelakuan seperti ini di hadapanku. Kukira kau memang berniat menantangku," Ryu berbicara dengan nada yang tenang sekaligus mematikan. "Iya kan, Tio Shan?" tanya Ryu sambil menatap lelaki yang kini terlihat sangat pucat dan gemetaran.

Jika bisa, Tio akan bersujud dan memohon ampun kepada laki-laki di hadapannya ini. Bagaimana bisa dia menunjukkan sikap seperti itu di depan seorang Isaiah. Dan yang lebih mengerikan adalah laki-laki ini tahu namanya. Dia memang benar-benar menakutkan.

"A.. A.. Aku sungguh tidak mengenalimu saat itu, gadis itu mengacaukan pikiranku dengan sikap liciknya." Tio mencoba membela diri

"Well, kau pembohong terburuk yang pernah kutemui, Tio. Kau tahu aku sedari tadi sudah melihat kelakuanmu yang rendahan itu. Dan merekamnya," balas Ryu sambil menekan kata merekam.

Ryu memberikan sinyal kepada Bam. Dengan cekatan Bam membuka ponselnya dan memperlihatkan rekaman yang tadi ia ambil.

Sekarang Tio sudah tidak dapat berkutik lagi, jika ia menggunakan gadis itu sebagai tameng untuk membela dirinya ia akan kalah dari pria menakutkan yang ada di hadapannya ini. Sudah tidak ada pilihan lagi yang ia punya.

"Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. Aku tidak akan mengganggu ataupun mengusik gadis itu lagi. Aku akan bersikap seolah-olah tidak pernah menemuinya. Dan kupastikan kejadian malam ini tidak ada seorang pun yang tahu," kata Tio dengan nada gemetar, laki-laki yang sedari tadi sombong akan kekuataannya itu kini mulai meneteskan air mata yang membasahi pipinya. "Kumohon maafkan aku.. Lepaskan aku.. Ampuni aku kali ini.."

Ia sesegukan. Ryu sangat muak dengan kelakuan laki-laki yang sekarang meminta pengampunannya. Ia bangkit dan menatap Tio tajam.

"Hari ini, aku, Ryu Isaiah, memaafkanmu. Jika sampai hal ini terulang lagi, ataupun aku mendengar kejadian ini disinggung. Kuharap saat itu kau sudah jauh dari tempat ini, jika tidak, mungkin mustahil lagi bagimu melihat matahati. Dan ingat, jangan pernah muncul dihadapanku ataupun gadis itu. Mengerti?" Ryu mengancam dengan sungguh-sungguh. Tio mengangguk-nganggukkan kepalanya sambil mencoba menghentikan air matanya.

Ryu segera meninggalkan Tio dan berjalan menghampiri Bam.

"Aku sudah lelah dengan mereka, lepaskan ikatan mereka dan pastikan mereka mengerti dengan apa yang kukatakan tadi," kata Ryu sambil menepuk pundak Bam.

"Baik Ryu."

---**---

Ryu kembali menghela napas di sela-sela langkahnya. Seharusnya hari ini ia tidak begitu berlebihan. Bagaimana jika wanita penyihir itu mengetahui kejadian hari ini? Bisa-bisa mulut ember milik wanita itu membocorkannya pada ibunya. Dan ia amat sangat tidak menyukai hal itu jika sampai terjadi.

"Ryu!" panggil seseorang. Ryu menoleh ke belakang dan melihat seorang pemuda dengan rambut pirangnya yang bercahaya terkena sinar rembulan. Segera lelaki tinggi itu berjalan di samping Ryu.

"Oh kau rupanya Bam, cepat juga."

"Yah, sepertinya aku memang harus ikut denganmu secepatnya."

"Kenapa?"

"Tampaknya, seseorang yang kau kirimkan nomornya padaku itu 'agak' merepotkan. Dari nada bicaranya yang kudengar saat menelponnya, ia sangat frustasi mencari gadis itu," jawab Bam dengan hati-hati

"Hmm.. Begitukah?" balas Ryu enteng.

Bam hanya menggeleng-geleng melihat reaksi Ryu. Ia berharap siapapun yang tadi ia telepon tidak gegabah dan memancing emosi Ryu, apalagi membuat keributan. Ia tidak ingin kepala sekolah atau wanita penyihir itu membuat kehidupan sekolah Ryu menjadi tidak menyenangkan.

Akhirnya mereka sampai di kamar Ryu. Tampak dua orang lelaki dan satu orang perempuan menunggu dengan tenang di depan kamar Ryu.

Lelaki dengan rambut dan mata cokelat terang tampak tidak sabaran dengan langkah Ryu yang menurutnya sangat lambat, ia terburu-buru menghampiri Ryu.

"Kenapa kau lama sekali? Katakan mengapa Freya bisa ada padamu?" tanya Raka dengan nada tinggi. Ia menarik kerah kemeja yang Ryu kenakan.

Bam menepuk kepalanya. Mengapa orang ini susah sekali mengerti ucapan yang ia katakan.

"Ehem," tegur Bam.

Raka tersadar, kemudian melepaskan pegangannya pada kerah kemeja Ryu. "Maaf."

Ryu hanya memandang Raka sekilas, lalu melanjutkan langkahnya kembali. Ia tidak mempedulikan tatapan Lee dan Lin terhadapnya.

Ia meraih kunci di saku jasnya dan membuka pintu, kemudian berjalan memasuki ruangan. Pandangannya tertuju kepada gadis yang sedang tidur di kasurnya dengan wajah polos dan damai. Sebuah senyum kecil terbentuk di wajah Ryu tanpa disadarinya.

Wanita yang berada di belakangnya berhambur masuk ke dalam ruangannya. Ia segera berlutut di pinggir ranjang dan mengelus kepala gadis yang sedang tertidur itu. Lin tampak ingin meneteskan air mata, lalu sesuatu membuatnya membeku.

Ia menatap Ryu, mencoba mencari penjelasan. Dan yang didapatkannya hanya ekspresi datar dan acuh dari Ryu.

Raka juga ikut menghampiri Freya yang tengah tertidur, ia berdiri di samping Lin dan kemudian duduk di tepi ranjang. Ia menatap Freya lekat-lekat. Lalu ia juga menyadari hal yang disadari Lin sebelumnya. Raka mengepalkan tangannya, kemudian ia bangkit dan menghampiri Ryu yang sedang duduk santai di sofa empuk miliknya.

Raka kembali menarik kerah kemeja Ryu kemudian menatapnya dengan marah. "Kau.. Apa yang kau lakukan pada Freya?" Raka menggertakkan giginya, geram. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi.

---**---

To be Continued

Author selalu mengharapkan vote dan komen readers :D
Terima kasih juga kepada yang sudah membaca cerita ini xD

Eye of Heart [COMPLETED]Where stories live. Discover now