yachi hitoka - oikawa tooru (pamit)

425 37 7
                                    

Ia pasti tak mengira akan menemukanku disini; di depan gang kompleks rumahnya, dihari yang cerah pada hari Minggu.

Maka dari itu aku tak begitu terkejut menendapatinya yang menegang karena menangkap sosokku diujung jalan, aku meyiapkan senyum paling cerah yang aku bisa sambil melambaikan tangan bersemangat seperti aku yang biasanya, "Hai!"

Dapat kulihat jelas ia sempat ragu membalas lambaian tanganku, meski pada akhirnya ia juga ikut terseyum lebar, berpura-pura seolah memang tidak ada satu apapun yang pernah terjadi. "Hai—"

Sesaat aku menelan ludah ketika bisa mendengar suaranya lagi.

"—pendek."

"Berhenti memanggilku, pendek!"

"Memang kau ini pendek, kan?"

Dengan sekali hentakan aku memukul sikunya, dan ia berakhir dengan mengaduh kesakitan. Untuk beberapa saat kami benar-benar tertawa, agak aneh karena detik ssebelumnya kami sangat canggung, seperti tidak saling mengenali. Didalam hati, diam-diam aku bersyukur ternyata semua masih baik-baik saja.

Setidaknya.

***

Bau hujan sisa semalam masih pekat dan juga meninggalkan beberapa kubangan air di sudut jalan. Kami berjalan beriringan, tidak terlalu mengobrol, dan tidak punya tujuan atas jalan-jalan pagi dadakan tanpa rencana ini. Keterdiaman kosong ini seakan sebuah harga bahwa stok obrolan kami sudah diambang punah—tanpa sisa.

Kaki-kakinya berhenti melangkah ketika jalanan panjang membawa kami pada swbuah waduk kecil yang berkabut diujung perumahannya, debit airnya sedikit naik karena hujan semalam, mungkin.

"Masih sama seperti waktu itu ya?" Cicitku disampingnya, sementara ia hanya memandangiku tanpa berniat menjawab, langkahnya maju beberapa untuk lebih mendekat ke danau itu, dapat kulihat ia menghirup dalam-dalam aroma basah menenangkan ini, untuk akhirnya ia membuang napas layaknya membuang kenangan yang juga kami singkirkan pada hari hari penuh hujan.

Kapan ya terakhir kali aku melihat punggungnya sedekat ini?

Ya, tiga hari yang lalu. Baru tiga hari namun rasanya sudah berabad-abad lamanya.

Dengan ia yang memunggungiku karena berada beberapa jeda diantara ku, aku mendesah lelah. Banyak hal yang akhir akhir ini ia lakukan dan rasanya melelahkan, aku tak melakukan apa-apa tapi tetap saja terasa melelahkan.

"Aku kesini karena ada beberapa hal yang ingin kukatakan padamu," aku menyimpan rapi kepalan tanganku dibalik saku sweater, "rasanya akan sangat memalukan. Tapi ayolah, aku akan mengatakannya sekali saja."

Ia tetap pada posisinya, entah mendengarkan atau tidak dan aku memilih melanjutkan.

"Dari dulu aku selalu dipuji, Hitoka pintar, sangat pintar, anak pintar, benar-benar pintar," aku terhenti untuk mengambil nafas beberapa waktu, "awalnya aku senang dan bangga, tapi aku sampai pada rasa muak dan bertanya ke diriku sendiri apa memang aku sehebat itu?"

Ia hampir menoleh kearahku, "Jangan lihat kesini!"

"Apa?"

"Berbaliklah, Ru!"

Setelah melihat tepat pada kedua mataku, pandangan yang memantulkan samudera luas dan kesepian, ia menurut untuk berbalik membelakangiku lagi.

Kesunyian itu mengolok-olok kami beberapa jenak.

"Tapi sekarang aku sadar aku tidak pintar. Dititik ini aku ingin meyerah tentang semuanya, berhenti pada segalanya—"

Ia akan berbalik ketika mendengar suaraku bergetar.

"—termasuk padamu, Tooru."

Aku tahu cowok itu seketika membeku ketika mendengar yang terucap dari mulutku.

"Tapi kalau dipikir-pikir lagipun, aku tidak pernah memilikimu 'kan?" Tiga hari yang lalu kami adalah sepasang kekasih, sekarang bukan lagi, apalagi sejak pertengkaran hebat waktu itu, "Aku bukan perempuan pintar, Ru. Benar benar bukan."

"Itulah kenapa meski aku tahu kalau hatimu masih milik orang lain, aku tetap saja menutup mata, menyukaimu dengan bodohnya." Sekuat tenaga aku menahan cairan yang bisa kapan saja tumpah dari sudut mataku, "Aku menyukaimu."

Jangan nangis Hitoka, jangan.

"Aku sangat menyukaimu."

Tak ada hal yang lain yang bisa kulihat lagi selain punggungnya yang mematung tanpa makna.

"Kelak jika nanti kau melihatku datang mencarimu, kumohon Ru, berpura-puralah tidak melihatku. Larilah, bersembunyilah, menghindarlah," sebaris kalimat itu bahkan menyesakkan untuk kuucap, "karena aku tidak yakin apa aku bisa berhenti dengan perasaan menyakitkan ini."

Aku menyeka pipiku, ternyata kumpulan likuid bening itu lolos membasahi pipi tanpa kusadari. Maka sebelum Tama berbalik, aku harus segera menyingkir dari sini, berpamitan pada rasa sedih yang mungkin tetap akan datang meski aku mengusirnya jauh.

"Tooru, aku pamit."

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 04, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HALUKYUU! Where stories live. Discover now