-

781 66 9
                                    

[Sebelumnya aku minta maaf kalau ini bukan fanfic. Ini hanya curhatanku. Silakan skip.]








































Kamu harus lebih terbiasa menyakiti dirimu sendiri. Kamu harus lebih terbiasa ketika harapanmu selalu dijatuh oleh realita. Kenapa kamu bertahin-tahun selalu terjatuh di sana? Kenapa kamu menggantungkan harapan pada sesuatu yang jelas kamu tau itu tidak akan mungkin?

•••

Di riuh rendah obrolan pada sebuah warung pecel lele yang tidak jauh dari rumah, aku mendengar obrolan para pelanggan dan si pemilik pecel lele. Mereka begitu bangga menceritakan anak mereka yang masuk ke pabrik-pabrik dengan gaji besar di kawasan rumahku, maklum saja, daerahku ini kawasan industri padat penduduk. Tak mau kalah, ibu-ibu atau beberapa bapak lain ikut menimpali dengan cerita yang seru, tidak luput juga si pemilik pecel lele. Orang-orang itu menceritakan bagaimana anak-anak mereka--yang mungkin seusiaku atau malah dibawahku--lulus SMA/SMK dan mendapat pekerjaan yang layak. Dengan gaji besar tentunya. Aku biasanya hanya diam sambil memainkan handphone dan sesekali ikut tersenyum. Aku sebenarnya malas menanggapi, maka setelahnya aku mulai membiasakan diri membeli pecel lele larut malam--disaat jam makan orang-orang sudah lewat dan warung pecel lele itu sudah sepi pengunjung.

Obrolan orang-orang disekitaran rumahku terlalu menyakitkan untukku. Tentu mereka tidak menjelek-jelekan aku. Tapi berpikiran mereka mampu mendapat pekerjaan dengan penghasilan lumayan. Aku sedih juga.

Aku sedih, bahkan pekerjaanku tidak cukup baik untukku ku banggakan. Tidak cukup sedikit untuk dibelanjakan.

•••

Aku memutuskan melanjutkan pendidikanku di tempat paling murah--karena aku hanya punya sedikit uang--dan kredibilitas yang di ragukan. Aku memutuskan masuk kesana. Yang artinya aku berjuang sedikit lebih banyak untuk berhemat dan menghasilkan uang untuk diriku sendiri. Dan ya sekarang, aku sudah menghabiskan uang yang kira-kira cukup untuk membeli satu motor baru di kampus itu sampai benar-benar lulus D3 di jurusan yang sama sekali ku benci.

Orang-orang yang berkuliah tanpa memikirkan biaya sibuk mengatakan padaku betapa jeleknya kampus ini. Betapa murahannya. Betapa tidak bagusnya.

Bahkan sebelum mereka mengatakan, aku sudah paham betul.

Aku datang dari SMA paling prestisius, sebagai seorang siswi paling aneh karena jadi satu-satunya murid yang bersepeda keranjang ke sekolah sementara teman-teman lain mengendarai mobil sendiri. Aku tidak pernah iri. Aku waktu itu--demgan segala kepolosanku--percaya bahwa di masa depan aku akan menjadi jauh lebih baik, dan ini adalah bagian dari perjalanan ketika roda dibawah.

Aku tidak apa-apa.

Tapi disinilah aku sekarang, masih pura-pura tersenyum ketika orang lain mengatakan hal yang tidak kusukai tentang diriku.

Apa mereka tidak tau aku sudah cukup sakit hati mendapati diriku gagal SMNPTN dan SBMPTN dan pura-pura tersenyum didepan teman-teman SMA ku yang masuk di jurusan dan universitas yang aku pilih dulu di SMA? Apa mereka bisa membayangkan menjadi aku yang mengucapkan selamat pada teman-teman sekelas ku yang lulus dan bekerja di ruangan yang sama dengan Ivan lanin padahal dulu dia bertanya jurusan apa yang akan kuambil? Saat dia bimbang, aku dengan yakin menjawab jurursan yang kuinginkan. Dan bahkan di tengah kebimbangannya, mereka semua sekarang orang sukses.

HALUKYUU! Where stories live. Discover now