Bab 1

6.3K 747 13
                                    

What the fuck. Itu adalah yang pertama diucapkan Jacqueline saat mendengar Marshall memecat dirinya. Tentu saja dia hanya mengucapkannya dalam hati. Bukan karena dia takut mengatakannya langsung di depan Marshall, sama sekali tidak. Mana mungkin dia takut dengan putra mahkota yang hanya bermodalkan royal blood line seperti Marshall. Jacqueline hanya sudah kelelahan, tidak sanggup lagi untuk bicara boro-boro meladeni ucapan nonsense dari Marshall.

"Kamu nggak usah datang ke kantor lagi besok," ucap Marshall. "Saya nggak bisa mentolerir staf yang nggak punya rasa hormat terhadap atasannya."

Whatever, batin Jacqueline. Sambil membereskan barang-barangnya dan bersiap pulang, Jacqueline hanya menghela napas. Kepalanya sakit bukan main sehingga dia bahkan tidak terlalu mendengarkan Marshall.

"Beresin barang-barangmu, saya nggak mau lihat muka kamu lagi besok."

Marshall membalikkan badan dengan angkuh lalu pergi. Setelah memecat Jacqueline begitu saja bahkan Marshall tidak berbasa-basi mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa Jacqueline selama ini. Triliunan Rupiah yang menjadi kontribusi Jacqueline sepanjang masa baktinya di Wardhana Group seolah tak ada artinya bagi Marshall.

Hal tentang Marshall yang pernah Jacqueline dengar memang tidak semuanya baik. Namun, Jacqueline tidak menyangka bahwa ternyata Marshall in real life is that much of an asshole. Marshall adalah lulusan MBA dari Stanford. Rumornya dia menolak tawaran program MBA dari Harvard karena sudah bosan dengan boring ass Boston dan East Coast lantaran sebelumnya dia berkuliah di Babson College. Sebagai seseorang yang dulu kuliah di Big Apple, jelas-jelas Jacqueline tersinggung dengan komentar Marshall soal East Coast.

Yang Jacqueline tahu, sudah sebulan berlalu sejak Marshall kembali ke Jakarta setelah lulus MBA. Alih-alih segera bergabung di perusahaan, Marshall malah sibuk mengumpulkan orang-orang untuk menjadi bagian dari jaringan koneksinya lewat pesta, rave, dan entah social gathering jenis apa lagi. Tentu saja yang diundangnya hanyalah orang-orang yang dirasanya pantas: the prettiest, the coolest, the smartest, the richest, dan seperti yang pernah didengar Jacqueline dari beberapa eksekutif muda di elevator, the potential personal slaves—orang-orang yang tidak menarik bagi Marshall namun memegang posisi-posisi penting di perusahaan-perusahaan dan organisasi-organisasi. Marshall mengikat mereka dalam jaringannya agar dapat dimanfaatkan dalam melicinkan manuvernya di dunia bisnis.

Lantaran Jacqueline sudah tahu hal-hal tersebut tentang Marshall, maka saat Kana, sekretarisnya menyampaikan pesan kepada Jacqueline bahwa dia diundang Marshall ke welcome party-nya di rooftop Wardhana Tower selepas jam kantor, Jacqueline hanya menganggapnya angin lalu.

"Pestanya mulai jam 7, Mbak. Yang saya dengar dari anak-anak sih, Pak David dan Mas Haikal bakalan ke sana."

Ass kissing hanya untuk menjadi personal slaves bagi putra mahkota? Mungkin bagi David dan Haikal, duo tua bangka dan bocah yang masing-masing baru saja diangkat menjadi petinggi divisi product, merupakan sebuah privilege bisa menjadi budak pribadi Marshall. Tetapi bagi Jacqueline, semua itu hanyalah omong kosong yang tidak bisa dia cerna.

"Yang saya dengar juga, Mas Haikal bahkan mau present konsep startup-nya ke Pak Marshall." Kana menambahkan.

Jacqueline hanya mengusap matanya. Setelah budget yang diminta Haikal ditolak oleh Jacqueline, sepertinya dia berharap Marshall bisa menjadi penyelamat. Tentu tidak semudah itu. Kecuali Marshall akan mendanai proyek Haikal dengan koceknya sendiri, Jacqueline tidak akan mengubah keputusannya dan berbalik mendukung proposal Haikal yang cacat konsep itu.

"Saya nggak ikut, Kana." Jacqueline merasa tidak perlu menjelaskan panjang lebar. "Masih banyak kerjaan dan kepala saya sakit. Saya mau istirahat sebentar."

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now