Bab 33

2K 311 4
                                    

Jacqueline kembali ke apartemen Marshall. Saat membuka pintu, dia merasakan kenyamanan yang familiar. A friendly solitude, a comforting silence. Meskipun cuma pernah dua malam tinggal di sana, dia masih hafal seisi apartemen tersebut dan tidak canggung untuk segera mengambil tempat dan duduk.

"Mau minum apa?" tanya Marshall.

"Memangnya pernah ada minuman selain air?" balas Jacqueline.

"Yeah, you're right." Marshall menggumam, menggaruk pelipisnya dengan canggung dan membuat Jacqueline menahan tawa.

"It's okay." Jacqueline beranjak dari kursi meja makan. Dia membuka kulkas dan mengambil sebotol air yang masih disegel. "Biar aku ambil sendiri."

"Dua malam tinggal di sini, udah feels like home, ya?"

"Is that wrong?"

"Nggak. Justru aku malah senang, artinya kamu betah." Marshall tersenyum. "Nggak kepikiran mau balik lagi ke sini?"

Jacqueline menggeleng. "Nggak, terima kasih. Aku udah dapat apartemen lain. Lagian nggak lucu kan kalau aku tinggal di sini lalu tiba-tiba Pak Adi datang."

"Papa nggak akan datang ke sini. Dia aja nggak ingat aku punya apartemen ini."

"Segitu banyaknya kah uang keluarga kalian, sampai-sampai nggak ingat lagi punya harta apa aja?" ledek Jacqueline.

"I don't know. Kamu kan direktur keuangannya. Seharusnya kamu tahu, dong?"

"Jelas aku nggak tahu. Yang aku urus kan soal perusahaan, bukan keuangan pribadi keluargamu," ucap Jacqueline. "Apartemen ini nggak kamu sewain aja?"

"Kenapa? Kamu yang mau sewa?"

Jacqueline tertawa. "Marshall, tadi kan aku udah bilang aku nemu apartemen lain."

"Siapa tahu kamu berubah pikiran, setelah tahu bahwa Papa nggak mungkin datang ke sini."

Jacqueline menggeleng. Sayang sekali.

"Well, aku nggak mau sewain karena sesekali aku masih suka ke sini, kalau lagi mumet dan pengen sendiri." Marshall menerawang. "Ditambah lagi, aku ngejadiin apartemen ini sebagai backup."

"Backup?"

"Iya. Just in case aku butuh uang dalam jumlah besar lagi kayak dulu, sewaktu aku diam-diam ikut sekolah masak, then I can easily sell this place off."

"Memangnya kamu berencana kabur lagi dari ayahmu?"

Marshall memainkan embun yang membasahi botol minumnya. Dia tahu jawabannya, tetapi ragu apakah dia harus mengucapkannya kepada Jacqueline. He trusts her. Dia hanya tidak ingin Jacqueline menertawakannya.

"Ada nggak satu hal di dunia ini yang pengen banget kamu lakukan dari dulu tapi nggak berani?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Jacqueline, Marshall malah melontarkan pertanyaan kepadanya. Jacqueline menyeruput air, juga punya jawabannya, tetapi takut untuk mengucapkan. Nobody knows about this, ever. Kalau dia menyampaikannya kepada Marshall, maka si tengil itu akan menjadi orang pertama yang tahu.

"Aku bisa jaga rahasia, kok." Marshall mengerling, seolah bisa membaca pikiran Jacqueline. "Buktinya, aku nggak pernah cerita ke siapa-siapa soal kejadian di Singapura atau Alfons."

"Kamu janji nggak akan menganggap aku aneh?" Jacqueline menatap Marshall takut-takut.

"Janji." Kedua jari Marshall membentuk huruf V. "Unless keinginan terpendam kamu ternyata makan orang."

WASTED LOVE (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang