Bab 20

2.1K 336 17
                                    

Setibanya Jacqueline di rumah, dia mencium aroma sedap masakan yang membuatnya langsung lapar. Ternyata asalnya dari dapur. Jacqueline melihat punggung Alfons yang sedang berdiri di dekat kompor. Di balik celemek navy blue yang mengikat, Alfons masih mengenakan kemeja kerja putih yang lengannya digulung sampai siku. Tangannya sibuk memainkan wajan yang mendesis merdu. Entah kapan terakhir kali Jacqueline melihat Alfons memasak.

Di awal pernikahan mereka, sewaktu Alfons belum ditugaskan ke Surabaya, dia sering memasak untuk Jacqueline. Jacqueline tidak memungkiri bahwa laki-laki yang bisa memasak itu seksi. Itulah salah satu hal yang disukai Jacqueline darinya. Lihatlah Alfons yang sekarang sedang mengangkat wajan dan membiarkan api menyambar masuk, untuk memasak makanan sesederhana sapi lada hitam saja dia menggunakan teknik flambe. Alfons tidak cuma bisa memasak, dia jago memasak. Who wouldn't get hooked?

"Hei, kamu udah pulang?" Alfons menoleh sekilas dan menyapa Jacqueline.

"Hai, iya." Jacqueline menyunggingkan senyum kecil. Dia duduk di kitchen island menonton Alfons. "Kamu lagi masak apa?"

"Sapi lada hitam." Alfons menyahut. "Boleh tolong ambilkan piring?"

Jacqueline yang baru saja duduk dan meletakkan ponselnya di atas meja terpaksa berdiri lagi, but she didn't mind. Alfons menahan tangan Jacqueline sebelum kembali ke kitchen island. Dia menyendok sedikit bumbu dari wajan dan meniupnya, lalu menyodorkan kepada Jacqueline untuk disuapi.

"Enak." Jacqueline mencicipinya.

Alfons tersenyum puas. Dia sendiri tidak pernah mencicipi hasil masakannya. Alfons selalu percaya diri dan yakin, dia tidak pernah gagal dalam memasak.

"Aku bisa sering masak lagi kalau udah di Jakarta nanti," ucap Alfons, melepas celemeknya dan bersiap untuk makan.

Jacqueline meluluh. Mungkin Alfons benar, long distance marriage adalah penyebab dari semua ini. Hubungan mereka menjauh, Alfons jadi lebih mudah marah, segala sesuatunya menjadi berantakan. Di tahun pertama mereka menikah, Jacqueline tidak melihat tanda-tanda kekerasan apapun dari Alfons.

Dia memang temperamental, iya, tetapi selain kata-kata kasar dan umpatan atau sesekali melempar barang, Jacqueline tidak pernah mendapati Alfons memukulnya. It's normal, right? People throw things and yell and curse when they are angry. Setidaknya Jacqueline berpikir itu normal, sebab ayahnya juga seperti itu. Dan ayahnya adalah laki-laki yang baik, pekerja kerjas, serta setia terhadap ibunya sampai meninggal.

Mungkin, setahun terakhir harus bolak-balik Jakarta-Surabaya membuat Alfons menjadi stres. Kalau dia kembali ke Jakarta seperti dulu, semuanya akan baik-baik saja. Sepanjang makan, Jacqueline terus menerus mengulang hal-hal ini ke dirinya sendiri dalam hati, sambil menikmati hidangan dan bercengkrama santai dengan Alfons. Tetapi, anehnya sosok Marshall selalu muncul lagi dan lagi di sela-sela pikirannya sambil mengucap "Kamu ini bego atau apa?!".

"Enak?"

Tahu-tahu makanan di piringnya sudah habis. Tangan Alfons siap mengangkat piring kosong itu dan membawanya ke bak cuci.

"Iya, terima kasih, ya." Jacqueline menyahut. "Biar aku yang cuci."

"Nggak usah, kamu mandi aja dan istirahat."

"Thanks."

Jacqueline membiarkan Alfons membawa piring-piring kotor dan mencucinya di dapur, sementara dia menikmati mandi air hangat yang menenangkan. Alfons really seemed to be in a very good mood. Setelah ini, Jacqueline tidak keberatan jika mereka duduk bersama di sofa dan menonton TV, just like old times.

Setelah selesai mandi, Jacqueline mengeringkan rambut dan berjalan kembali ke dapur. Ada film yang belum sempat ditontonnya minggu lalu, mungkin dia dan Alfons bisa menonton bersama malam ini. Alfons sudah selesai mencuci piring, tetapi dia masih mengenakan celemek.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now