Bab 30

2.2K 309 3
                                    

Biasanya, Adi bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan pribadi para stafnya. Selama pekerjaan selesai, omset naik, keuntungan aman dan perusahaan stabil, dia tidak peduli apakah staf yang satu pacaran dengan yang lain, menikah atau bercerai, atau bahkan selingkuh dengan tiga orang sekaligus. Namun, kali ini berbeda. Gosip yang dia dengar bukan tentang staf biasa, melainkan tentang Marshall, anaknya sendiri, orang yang sudah di-grooming untuk menjadi calon penerus Wardhana Group sejak kecil.

Bukan cuma soal Marshall, perhatian Adi terpancing saat nama Jacqueline ikut terseret. Kalau petinggi-petinggi lain mendapat label di punggung mereka sebagai bapak-bapak genit, diktator, si pelit atau macam-macam lainnya, track record Jacqueline di kantor sangatlah bersih. Dia tidak dikenal sebagai apapun selain staf departemen keuangan yang cerdas, tidak banyak bicara, tidak banyak mendapat spotlight, dan akhir-akhir ini palingan sebagai 'direktur baru yang bosnya mati mendadak'. Oleh karena itu Adi segera memanggil Jacqueline ke ruang kerjanya begitu mendengar nama Jacqueline kini dikaitkan dengan kata 'affair', terlebih lagi nama Marshall ikut terseret.

"Ada apa, Pak?" tanya Jacqueline tanpa basa-basi saat dia melangkah masuk ruang kerja Adi. Orang-orang tidak akan menyangka bahwa Adi adalah orang yang keras dan sadis jika melihat ruang kerjanya. Suasana ruang kerja itu hangat. Warna yang mendominasi di sana adalah cokelat muda dan putih, dengan banyak kaca jendela yang mengizinkan sinar matahari untuk masuk.

"Saya dengar rumor tentang kamu dan Marshall." Adi langsung bicara to the point. "Kamu punya hubungan apa sama Marshall?"

"Dia calon penerus Wardhana Group, mentee saya di masa sekarang, bos saya di masa depan." Jacqueline menjawab tegas. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berakhir jika tidak segera menarik garis batasan.

"Saya tanya, kamu punya hubungan apa sama dia? Bukan tanya siapa dia."

"Untuk saat ini dia rekan kerja saya, Pak." Jacqueline menatap Adi tanpa ragu.

"Untuk saat ini? Jadi akan berubah di masa depan?"

"Iya. Di masa depan, hubungan saya dan dia akan menjadi anak buah dan bos."

Adi menelan ludah. Sorot matanya tidak sabar. "Don't beat around the bush, Jacqueline. Kamu ada affair sama Marshall?"

"Nggak."

"Terus, ngapain kamu jam dua belas malam di kantor berdua sama dia?"

"Saya lagi kerja, Pak Marshall juga lagi kerja. Kebetulan kami kejebak di lift yang mati sampai pagi, that's it."

Mata Adi menyipit curiga. Dia tidak percaya begitu saja dengan ucapan Jacqueline. Well, Jacqueline tidak berbohong, memang seperti itu kenyataannya.

"Kamu tahu, orang-orang di kantor sekarang sibuk ngomongin kalian."

"Setiap hari orang-orang di kantor sibuk ngomongin kita, Pak." Jacqueline menarik sudut bibirnya, tersenyum kecil, sedikit sinis. "Kenapa harus ambil pusing?"

"Orang-orang nggak biasanya ngomongin calon penerus punya affair dengan direktur muda yang juga istri orang, Jacqueline." Adi memandang Jacqueline tajam. "Itu sebabnya saya concerned."

Jacqueline menghela napas. "Pak Adi, saya dan Marshall nggak ada hubungan apa-apa. Kami nggak punya affair dan saya juga udah nikah. Apa statement saya ini udah cukup buat Bapak?"

Adi tidak segera menjawab. Sorot matanya masih mengunci Jacqueline sementara otaknya berpikir. Sesaat kemudian dia mengembuskan napas berat dan mengibaskan tangan, pertanda bahwa urusannya dengan Jacqueline sudah selesai. Walaupun begitu, urusannya dengan Marshall belum tuntas. Selepas Jacqueline membalikkan badan dan meninggalkan ruang kerja Adi, Adi segera memanggil Marshall. Dia kembali menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakannya kepada Jacqueline.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now