Bab 4

3.8K 535 23
                                    

Ternyata bukan cuma hotel Jacqueline yang di-upgrade oleh Marshall, melainkan juga penerbangannya dari Jakarta ke Singapura. Jacqueline baru sadar ketika dia masuk ke boarding room dan disapa oleh Marshall. Dari jauh, Jacqueline sudah melihat Marshall yang duduk sambil sibuk dengan ponselnya di salah satu kursi. Nahas bagi Jacqueline, saat hendak melenggang pergi ke barisan kursi yang bertolak belakang dengan Marshall, manusia tengil itu menoleh dan memanggilnya. Terpaksa Jacqueline menghampiri Marshall.

"Pas-pasan banget kamu datangnya." Marshall melihat jam tangannya.

"Saya datang sejam lebih awal atau semenit lebih awal nggak ada bedanya," balas Jacqueline datar. "Pesawatnya sama-sama belum berangkat."

"Kamu datang semenit terlambat pun pesawatnya masih akan nungguin. That's the perk of flying business class."

"Nggak gitu juga, Pak." Jacqueline menentang dengan datar. "Dan saya nggak terbang dengan business class."

"Lihat lagi boarding pass kamu."

Jacqueline mengernyit. Dia menarik keluar selembar boarding pass yang terselip di paspornya. Dia baru sadar kursi yang diberikan padanya adalah 3A. Kursi di urutan nomor 3 jelas-jelas bukanlah kelas ekonomi.

"You're welcome, again." Marshall tersenyum dan mengangguk, lalu kembali menatap layar ponselnya.

Jacqueline tertegun. Shit, jangan-jangan Marshall sengaja menempatkannya di business class supaya mereka duduk berdekatan! Jacqueline tidak ingin duduk bersama dengan Marshall. Meskipun penerbangan ke Singapura hanya dua jam saja, waktu yang singkat itu sangat berharga baginya. Hanya di penerbangan-penerbangan singkat seperti ini Jacqueline memiliki kesempatan untuk benar-benar unplug dan jelas-jelas dia tidak akan bisa unplug jika Marshall si manusia mercon ada di dekatnya.

Dugaan Jacqueline benar. Baru saja dia duduk, Marshall sudah mencondongkan tubuh ke arahnya dan mengajaknya bicara. "Kita kan nanti nyampe jam 10, menurut kamu keburu nggak kalau saya ke Shake Shack di Jewel sebentar? Saya cuma mau makan sebentar sebelum kita ke downtown." 

"Sebaiknya jangan." Jacqueline menggumam.

"Kenapa? Toh, nyampe kantor juga kita bakal makan siang dulu sebelum rapat, kan?"

"Justru itu, Pak Marshall mau makan sebelum makan?"

"Kenapa nggak? Satu Portobello burger nggak akan bikin saya kekenyangan buat makan siang. Kamu kok kedengarannya jadi kayak ibu saya, sih?"

"Pasti kita akan ada office tour dulu sebelum makan siang, jadi jadwalnya bakalan padat. Nggak akan ada waktu untuk makan dulu setelah landing."

"Office tour? Buat apa?"

"Mereka baru pindah ke gedung baru."

"Oh, jadi mereka mau show off sekarang punya perosotan di dalam kantor kayak Facebook?"

"Facebook nggak punya perosotan, itu Google."

Marshall mengibaskan tangan. "It doesn't matter! Apa intinya punya perosotan di dalam kantor? Buang-buang duit doang, tau? Saya pikir seharusnya kamu yang paling tau soal ini?"

Jacqueline mengernyit. "Saya nggak pernah bilang kantor di Singapura punya perosotan. Bapak sendiri yang bilang."

"Tadi kamu bilang—"

"Saya cuma bilang, mungkin mereka mau office tour sebelum makan siang."

Marshall terdiam. Keningnya berkerut, mulutnya sedikit menganga. Dia berusaha mengingat-ingat percakapan di antara mereka. Wajah Marshall memerah ketika dia sadar, ternyata memang Jacqueline tidak pernah menyebut-nyebut soal perosotan. Dirinya sendirilah yang berasumsi.

"Ehm." Marshall berdeham. "Anyway, pokoknya saya mau mampir ke Shake Shack sebentar begitu mendarat."

"Oke. Kalau gitu sampai ketemu di kantor."

Marshall hendak menyahut, sayangnya seorang pramugari muncul dan meminta Marshall untuk mengenakan sabuk pengaman. Jacqueline menyandarkan kepala ke kursi dan segera memejamkan matanya. Dia bisa mendengar Marshall mengucap, "Apa maksud kamu sampai ketemu di kantor? Kita ya barengan ke downtown. Hei, Jacques?", namun tentu saja Jacqueline pura-pura sudah terlelap.

Tak butuh waktu lama, Jacqueline sungguhan terlelap. It has been tough at home, rasanya sudah lama sekali Jacqueline tidak bisa tidur nyenyak. Marshall memang tengil dan menyebalkan, tapi paling tidak dia bukan orang jahat yang suka memukul.

***

Jacqueline lumayan menyesal dia tidak ikut membeli Portobello burger seperti Marshall ketika mereka tiba di Changi Airport. Dia betul-betul serius dengan ucapannya dan berangkat sendirian ke kantor di downtown dari bandara, tanpa Marshall yang bersikeras ingin Portobello burger meskipun sudah makan di pesawat.

"Kita makan di pesawat tuh jam 9, porsi kucing pula, sedangkan paling cepat kita makan siang jam 1. Saya keburu pingsan kalau nggak makan di tengah-tengahnya."

Ketika selesai melewati imigrasi, langsung saja Jacqueline pergi tanpa permisi, meninggalkan Marshall yang paspornya masih mengantri untuk dicap. Sesuai dugaan Jacqueline, setibanya dia di kantor, dia langsung diajak office tour oleh para staf di sana. Mereka dengan bangga memamerkan The Fullerton yang nampak jelas dari jendela lantai 47 itu. Jacqueline pikir, setelahnya mereka akan langsung pergi makan siang, ternyata Jacqueline malah dibawa Si-Ting Chua, managing director kantor Wardhana di Singapura, untuk ikut rapat dengan salah satu founder startup di San Fransisco yang menarik perhatian Si-Ting. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Jacqueline mulai gelisah.

"I thought you might be interested to check out his presentation, very cool ideas, I would like to know what you think about us funding some of his work. It's about 9 PM in SF, so I thought we could just squeeze in some time before we go for lunch."

Tepat sebelum mereka masuk ke ruang rapat, Marshall muncul dan bergabung dengan mereka setelah Si-Ting dan stafnya menghabiskan kurang lebih 10 menit untuk basa-basi ass-kissing menyambut Marshall. Jam menunjukkan pukul 12:15, rapat dimulai.

Pukul 12:30, Jacqueline mulai merasa lapar. Separuh konsentrasinya berpindah dari layar besar di tengah ruangan menuju ke ulu hatinya yang sedikit terasa nyeri. Marshall mencondongkan tubuhnya pada Jacqueline dan berbisik, "Jam segini malah meeting? Orang-orang ini makan angin doang kenyang kali, ya?"

Pukul 13:00, Jacqueline sungguhan merasa lapar. Bukan cuma itu, dia mulai merasa mual dan nyeri di ulu hatinya semakin menjadi-jadi. Dia sempat meringis menggigit bibir. Saat itulah Marshall kembali berbisik padanya, "Si-Ting ini sinting kayaknya, udah jam segini masih nggak kelar-kelar presentasinya?"

Jacqueline mengeluarkan obat maag dari tasnya dan menenggaknya. Dia menarik napas dalam-dalam. Telapak tangannya mulai berkeringat dingin. Dia sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi mengikuti presentasi di hadapannya. Pukul 13:15 presentasi itu selesai. Setelahnya mereka pergi ke Zafferano. Saat memesan memesan makanan, nyeri di ulu hati Jacqueline sudah mulai mereda. Ketika akhirnya wild mushroom casserole masuk ke mulut Jacqueline sebagai hidangan pembuka, jam sudah menunjukkan pukul 13:50.

"Untung kan saya ke Shack Shake dulu." Lagi-lagi Marshall mencondongkan tubuhnya kepada Jacqueline, kali ini begitu dekat hingga Jacqueline bisa mencium wangi parfum Creed yang dikenakan Marshall dan aroma wild mushroom casserole di hidungnya secara bersamaan. "Saya bilang juga apa, nggak mungkin makan siangnya on-time sama orang-orang kayak gini."

Mau tak mau Jacqueline mengiyakan manusia tengil ini.

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now