Bab 16

2.2K 365 8
                                    

Jacqueline menarik napas lega saat dia membuka pintu rumah dan disambut dengan kegelapan. Alfons belum pulang. Ternyata Marshall benar, dia lebih cepat daripada Alfons. Dari sudut matanya, Jacqueline melihat Marshall sendiri tersenyum puas.

"Buruan," ucap Marshall. "Kita nggak punya banyak waktu. Maksimal sepuluh menit. Lebih dari itu, takutnya Alfons keburu sampai."

Tak perlu disuruh dua kali, Jacqueline bergegas masuk. Tanpa melepas sepatu, dia berjalan tergesa ke kamar tidurnya dan menarik keluar koper kecil untuk diisi barang-barangnya. Setelah memarkir mobil, Marshall ikut turun dengan Jacqueline. Tanpa diundang, dia mengekor masuk ke rumah tempat Jacqueline dan Alfons tinggal.

Kalau tidak dalam keadaan genting, Jacqueline sudah menyuruhnya diam di mobil dan tidak sudi Marshall menginjakkan kaki di kediamannya. Tidak, jika keadaan tidak genting, Jacqueline tidak akan mau semobil dengan Marshall sama sekali, terlebih mengantarnya pulang dan sampai masuk pula ke rumah.

Namun, kali ini Marshall benar. Jacqueline membutuhkannya. Kalau sampai Alfons muncul tiba-tiba, Marshall bisa mengulur waktu dengan berkelahi melawan Alfons sementara Jacqueline kabur mencari bantuan. Walau ototnya tidak sebesar binaragawan, tubuh Marshall terlihat tegap berisi dan kuat. Ditambah lagi dia cekatan.

Buktinya dia bisa melayangkan tinju terlebih dahulu. Bukan cuma itu, dia tidak menyasar wajah seperti kebanyakan orang biasanya, tetapi ulu hati, yang membuat lawannya butuh waktu untuk bisa bangkit dan membalas. Marshall is not that stupid. He is not stupid at all. Sambil mengemasi barang-barang, Jacqueline kembali mengingat kejadian di lobi La Place tadi.

"Udah." Jacqueline mengucap sambil menarik kopernya.

Marshall yang sedang sibuk mengamat-amati rumah Jacqueline menoleh. "Siapa yang milih desain interior rumah ini?"

"Saya," gumam Jacqueline.

Senyum Marshall yang mengembang sinis. It's not a smile, it's a smirk. A mocking smirk. "Pantas, cold."

"Kamu masih punya waktu untuk komentar nggak penting kayak gini?" Jacqueline mengeluh. Dia membuka pintu rumah dan keluar. Marshall memasukkan satu tangan ke dalam saku celananya sambil menunggu Jacqueline mengunci pintu, satu tangan lagi diletakkan di atas koper.

"Saya kan lagi nungguin kamu. What was I supposed to do? Ngelihatin lantai doang gitu?"

"Bukan kegiatan kamu yang saya permasalahkan, tapi komentar yang keluar dari mulutmu, nggak ada filter sama sekali." Jacqueline berjalan mendahului Marshall. "Saya bisa bawa koper saya sendiri."

"Don't be too cold, Jacqueline. Sekali-kali jadilah damsel in distress, yang manis dan nggak berdaya, supaya laki-laki di sekitarmu bisa merasa sedikit berguna."

Tadinya Jacqueline ingin membalas Marshall dengan ucapan yang dingin dan tajam seperti biasa, namun dia mengurungkan niat. Jacqueline mengembuskan napas pelan. "Kamu udah sangat berguna buat saya. Terima kasih, udah berbuat sejauh ini hanya untuk saya yang bukan siapa-siapa."

Marshall mengerjap. Dia tidak siap menerima ucapan Jacqueline yang halus, yang tidak seperti biasanya. Padahal dia sudah menyiapkan perisai untuk menangkis kata-kata Jacqueline yang dikiranya akan terdengar pedas.

"It's fine." Marshall menggumam tak jelas.

"Saya nggak mau ngerepotin kamu lagi untuk hal-hal sepele. Biar saya bawa koper saya sendiri." Jacqueline mengambil alih kopernya dari tangan Marshall. Jemari mereka saling menyapu tidak sengaja. Marshall mengangguk canggung.

Jika Jacqueline menjawabnya dengan halus dan sopan, Marshall malah jadi salah tingkah dan kehabisan kata-kata. Marshall kira Jacqueline paling mematikan ketika sedang bersikap dingin, tetapi ternyata yang paling berbahaya baginya adalah ketika Jacqueline bersikap lembut.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now