Bab 7

3.1K 446 12
                                    

Rapat terakhir mereka selesai pukul tujuh malam. Kali ini, Marshall tidak lagi mengundang Si-Ting dan stafnya untuk makan-makan fancy atau minum-minum seperti di CÉ LA VI kemarin. Si-Ting mengusulkan untuk makan malam bersama di malam terakhir Marshall dan Jacqueline di Singapura. Dia menyebut restoran burger Hans im Glück yang lokasinya di One Raffles Place, tak jauh dari kantor, mengiming-imingi Marshall dengan bir asli dari Jerman yang dijual di sana. Ryan mengusulkan JUMBO di Clarke Quay, apalah artinya ke Singapura kalau tidak makan chilli crab.

Namun, Marshall menolak semua usulannya. Bukan karena dia tidak tertarik dengan segala jenis sajian yang disebutkan Si-Ting dan Ryan, tapi karena dia ingin makan berdua saja dengan Jacqueline. Seharian itu, Marshall diam-diam memperhatikan Jacqueline. Dia tidak banyak bicara, seperti biasa, sedikit menjaga jarak, seperti biasa, tapi selain itu ada sesuatu yang lain darinya. Jacqueline nampak seperti orang yang isi kepalanya begitu penuh. Pikirannya seolah ada di tempat lain. Beberapa kali Marshall mendapati keningnya berkerut, seperti sedang berpikir, namun tatapan matanya kosong. Sebagaimanapun Marshall berusaha untuk tetap peduli, dia tetap dihantui rasa bersalah, takut kalau-kalau sungguhan ada ucapan tidak pantas yang dia lontarkan kepada Jacqueline ketika sedang mabuk.

"Jacques, ayo kita makan berdua malam ini." Marshall mencondongkan tubuhnya, berbisik ke telinga Jacqueline di antara diskusi tim Si-Ting perihal mau makan di mana.

Jacqueline menoleh. Dia menatap Marshall dengan heran.

"Ada yang mau saya bicarakan." Marshall menambahkan.

"Tentang apa?"

"Tentang kita."

Alis Jacqueline terangkat. Dia risih mendengarnya. Tentang kita?! Kedengarannya seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih.

"Kamu mau makan di mana? Saya tiba-tiba pengen char kway teow."

Jacqueline tidak menyahut, sebab mendadak ponselnya bergetar. Nama Alfons berpendar-pendar di layar. Raut wajah Jacqueline langsung membeku. Dia menatap nama itu dengan tegang. Marshall melongok dengan kepo.

"Kok, nggak diangkat?"

Jacqueline tidak menjawab Marshall. Dia mengabaikan panggilan telepon dari Alfons dan memasukkan ponselnya kembali ke saku blazer.

"Saya lagi nggak pengen makan di hawker center," ucap Jacqueline.

Marshall mendengus. "Karena itu kurang fancy buat kamu?"

"Karena di sana nggak bisa minum."

Kedua mata Marshall melebar. Dia menatap Jacqueline dengan heran. "Setelah jadi polisi moral, sekarang kamu yang mau minum alkohol?"

"Saya nggak jadi polisi moral, saya cuma berusaha making some sense ke Pak Marshall. Kalau Bapak mabuk sementara esoknya harus—"

"Jangan panggil saya Bapak!"

"—rapat besar, gimana bisa konsentrasi?"

"Nyatanya, hari ini saya baik-baik aja kan?" Marshall menyeringai menyebalkan, membuat Jacqueline kena skak mat kehabisan kata-kata.

Jacqueline menjauhkan wajahnya dari Marshall.

"So, have we decided or not?" Si-Ting menepukkan kedua tangannya, memancing perhatian Marshall dan Jacqueline.

"I'll just go back to the hotel and take a rest." Jacqueline berdiri, mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Kepalanya menuding Marshall. "He wants to go and have some char kway teow. Maybe you all can accompany him?"

Marshall tergagap, celingukan menatap Jacqueline dengan bingung. Belum sempat dia membantah, Si-Ting sudah mengiyakan ucapan Jacqueline.

"Sure, sure."

WASTED LOVE (Completed)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora