Bab 36

2K 334 30
                                    

Jacqueline membuka mata, berharap bahwa apa yang baru saja dialaminya merupakan kejadian terakhir dari rentetan kesialan yang dia alami secara beruntun. Dia menahan sakit saat menggerakkan tubuhnya untuk bangun.

"Akhirnya kamu bangun."

Jantung Jacqueline mencelus saat menyadari dia tidak sendirian. Ada Adi di hadapannya dengan perempuan paruh baya yang sesekali pernah ditemui Jacqueline di acara-acara besar kantor, Hilda, istri Adi, ibu Marshall.

Jacqueline berusaha duduk. Baik Adi maupun Hilda tidak ada yang menawarkan diri untuk membantu sekalipun terlihat jelas dia kesulitan. Jacqueline tidak tahu bagaimana wujudnya sekarang. She must be looking like a mess, dengan selang infus menancap di tangannya dan baju rumah sakit yang berwarna biru muda.

"Gimana keadaanmu?" tanya Adi. Jacqueline tahu, pertanyaan itu hanyalah basa-basi. Lagipula, dia bingung harus menjawab keadaan yang mana—psikis atau fisik? Both are broken anyway dan Adi jelas-jelas bisa membacanya.

Jacqueline mengangkat bahu. "Seperti yang Bapak lihat."

"Kamu ingat apa yang terjadi sama kamu?"

Jacqueline heran mengapa dia menemukan Adi dan Hilda sebagai orang pertama yang ada di hadapannya ketika membuka mata. Dia berharap dokter atau perawat yang menyapanya. Or if she could wish for something better, dia berharap Marshall yang menyambutnya.

Tentu saja Jacqueline ingat. Dia pingsan, bukan amnesia. Yang terluka adalah perut, bukan kepalanya. Pagi tadi, ketika baru tiba di lobi kantor, tepat sebelum dia melewati security checkpoint dan metal detector, tiba-tiba ada orang yang datang dan menusuknya. Semua orang yang ada di sana langsung menjerit panik dan ketakutan sementara Jacqueline terjatuh. Bahkan petugas keamanan pun hanya bisa terpaku untuk beberapa detik, memberi celah bagi penusuk itu untuk kabur. Protokol keamanan yang mereka pelajari selama ini tiba-tiba menguap begitu saja, lantaran dibuat begitu kaget oleh sesuatu yang sangat tidak terduga.

Yang terjadi setelahnya cukup samar. Beberapa orang kembali menjerit-jerit panik, barangkali karena melihat darah yang merembes begitu cepat dan menetes-netes di lantai marmer. Beberapa petugas keamanan berusaha mengejar pelaku. Sebagian lagi berusaha membuat perimeter di sekeliling Jacqueline agar tidak ada yang mendekat. Well, siapa juga yang mau mendekat?

"Panggil ambulans!"

"Jangan mendekat! Jangan mendekat!"

"Polisi! Panggil polisi!"

"Ada apa, sih?"

Napas Jacqueline memburu. Dia mulai kehilangan kesadaran.

"Ada yang ditusuk."

"Hah?! Siapa?"

"Jacqueline, direktur Finance. Yang ciuman sama Marshall."

Setelahnya, Jacqueline pingsan. Di antara sadarnya, dia sudah bisa menebak siapa yang melakukan hal ini kepadanya. Alfons, mantan suaminya yang psycho itu, pasti dia yang melakukan. Waktu itu Alfons pernah mengancam akan membunuh Jacqueline jika ternyata dia ada hubungan khusus dengan Marshall. Jacqueline tidak heran jika kali ini Alfons sungguhan melakukannya.

"Jacqueline!"

Jacqueline tersentak. Pikirannya buyar saat Adi memanggil namanya keras.

"Kamu ingat nggak apa yang terjadi?" Adi mengulang pertanyaannya.

"Iya." Jacqueline menjawab pelan.

"Kamu tahu siapa yang nusuk kamu?" Adi menaikkan alis.

Jacqueline terdiam. Alfons. Pasti Alfons. Shit. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Melaporkan Alfons ke polisi? Apa yang terjadi setelahnya sampai-sampai Adi dan Hilda ada di sini? Seluruh Wardhana Group pasti geger gara-gara kejadian ini. Barangkali bukan cuma seantero gedung Wardhana Group yang geger, melainkan juga gedung-gedung yang bertetangga. Kalau Jacqueline mengakui bahwa Alfons yang melakukan, kalau ternyata memang benar Alfons melakukannya karena dia cemburu pada Marshall, terlebih lagi foto dirinya dan Marshall berciuman tersebar ke mana-mana, she's going to be such a mess.

WASTED LOVE (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora