Bab 6

3.1K 488 12
                                    

Sepanjang perjalanan kembali ke kamar hotel, Jacqueline berkali-kali menyuruh otaknya untuk melupakan ucapan Marshall. Dia tidak menyangka kata-kata Marshall bisa terasa sama sakitnya seperti tinju kepalan tangan Alfons. It hurts. Jacqueline merasa sesak di dada saat akhirnya dia kembali sendiri di kamar hotelnya. Dia menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk mandi lalu tidur, sesuai rencananya.

Sebelum tidur, Jacqueline kembali teringat Marshall. Kali ini bukan lagi tentang ucapannya, melainkan Jacqueline yakin besok pasti Marshall tidak bisa bangun dan pergi ke kantor, if he's not dead yet due to intoxication. Jacqueline mengangkat telepon dan berbicara dengan room service, meminta tolong untuk mengantarkan sesuatu ke kamar Marshall.

Setelahnya Jacqueline tidak ingat apa-apa lagi. Matanya terasa begitu berat dan dia terlelap dalam hitungan detik. Keesokan paginya pukul lima, Jacqueline sudah bangun bahkan sebelum alarm ponselnya berbunyi. Dia duduk sejenak di tepi jendela, memandangi langit Singapura yang masih gelap, thinking about nothing. Kata Kana, akhir-akhir ini Jacqueline sering melamun. Jacqueline mengakuinya, melamun itu ternyata menyenangkan. Mengosongkan pikiran, menatap satu titik di jarak pandangnya yang jauh, bahkan untuk sejenak dia sampai lupa siapa dirinya lantaran terlalu larut dalam kekosongan.

"Mbak, hati-hati nanti kesambet," ucap Kana suatu hari. Jacqueline hanya mendengus sambil tertawa. Kesambet? Mana mungkin. Setan saja malas merasuki jiwa Jacqueline yang begitu rumit.

Puas melamun, Jacqueline memutuskan untuk bersiap-siap dan keluar hotel untuk mencari angin segar sebelum makan pagi. Saat itulah dia berpapasan dengan Marshall di depan pintu lobby hotel, mengenakan jersey kesebelasan Jerman, celana basket serta sandal jepit dan menenteng sebungkus makanan beraroma seperti cakwe. Saking terkejutnya karena tidak menyangka akan bertemu satu sama lain, Marshall dan Jacqueline hanya saling pandang dengan mulut menganga.

"Mau ke mana, Jacques?" tanya Marshall, akhirnya lebih dulu memecahkan keheningan.

"Untung Pak Marshall nggak mati." Jacqueline membalas dengan dingin dan sinis.

Marshall mengernyit. Dia sungguh tidak mengerti apa maksud dari ucapan Jacqueline. Marshall sama sekali tidak ingat apa yang terjadi semalam. Marshall bahkan bingung ketika dia terbangun subuh dengan kepala yang begitu berat, tetapi untungnya ada satu strip aspirin di atas meja, entah dari mana.

"Mau makan?" Marshall mengangkat bungkus makanannya. "Saya beli cakwe."

Sejujurnya, aroma cakwe itu begitu menggiurkan bagi Jacqueline. Makanan yang ditawarkan Marshall adalah solusi paling cepat mengatasi rasa laparnya yang mulai dia rasakan. Jacqueline mengangguk.

"Kita ke promenade aja, yuk," ajak Marshall.

Kali ini Jacqueline mengangguk dan mengikuti langkah Marshall, bukan karena Jacqueline murahan dan dengan gampangnya disogok walau hanya cakwe saja, tetapi karena ada yang ingin Jacqueline tanyakan kepada Marshall. Tentang kata-katanya semalam, apa yang membuat Marshall berkata demikian?

***

There's something serene about this promenade. Meskipun matahari belum terbit, sudah ada beberapa orang yang memulai aktivitas di tepi Singapore River pagi itu. Ada yang bersepeda, ada yang jogging, bahkan ada yang latihan taichi. Jacqueline melirik Marshall yang membuka bungkus makanannya sendirian dan membelah cakwe. Tanpa sadar dia mendengus. Tentu saja, orang egois seperti Marshall akan makan sendiri tanpa berbagi.

"Nih."

Saking sedang sibuk suudzon, Jacqueline sampai tidak sadar saat Marshall menyodorkan potongan cakwe yang baru saja dibelah kepadanya.

"Hei, ini buat kamu." Marshall mendorong potongan cakwe itu ke depan hidung Jacqueline.

Gelagapan, Jacqueline menerimanya sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Cakwe itu masih panas. Jacqueline membiarkan kepulan asap terakhir menguap ke udara sebelum menggigitnya. Lain dengan Jacqueline yang menggigit perlahan-lahan, Marshall mengunyahnya dengan penuh semangat.

"Wah, this is so good, so nostalgic," ucap Marshall dengan mulut penuh. Tangannya kembali menyobek potongan cakwe dan menjejalkannya ke mulut. Kunyahan Marshall melambat sementara pandangannya menerawang jauh pada deretan gedung-gedung perkantoran di seberang. "Dulu sepulang sekolah, saya sering kabur ke seberang, duduk di pinggir sungai sambil makan. Padahal seharusnya saya ikut les pelajaran untuk persiapan ujian dan masuk kuliah."

Jacqueline tahu bahwa Marshall dulunya menyelesaikan SMA di Singapura sebelum kuliah di Amerika. Semua orang di kantor pernah membicarakannya, bahwa putra mahkota Wardhana Group adalah orang yang sangat kuat di bidang akademik bahkan sejak masih sekolah.

"Saya paling suka makan cakwe, walau tangan jadi berminyak. Paling males, lagi makan tiba-tiba ditelepon Mr. Tan, guru les saya. HP jadi berminyak semua. Dia nanya saya ke mana, kenapa bolos lagi. Oh I really hate that guy. Tapi dipikir-pikir, I think he was just doing his job. Mungkin malah dia yang merana kali punya murid kayak saya."

Marshall menerawang jauh sambil mengunyah cakwenya perlahan.

"School work can be suffocating. Papa bilang orang bodoh nggak akan bisa ngapa-ngapain. Tapi, kadang saya berharap saya terlahir bodoh, supaya saya nggak perlu ngapa-ngapain." Marshall tersenyum getir. "Kadang saya mikir, kenapa saya harus lahir di keluarga Wardhana? Jadi anak sulung, satu-satunya laki-laki pula."

Jacqueline tidak menyahut apa-apa. Dia hanya menatap jari-jarinya yang kini berminyak karena cakwe. So, Marshall might be a reluctant prince. Apakah itu sebabnya dia bersikap ogah-ogahan di kantor?

"Kamu itu android, ya?"

"Bukan, saya pakai iPhone."

Marshall memutar bola matanya. "Are you kidding me? Saya lagi nyindir kamu, kamu itu kayak robot, kayak android! Dari tadi saya ngomong panjang lebar nggak ada reaksinya."

"Oh."

"Jacques, kamu bener-bener nggak punya simpati apalagi empati, ya. Pasti suami kamu sering komplain tentang sikapmu yang kosong tanpa emosi. Jeez!"

Marshall mengambil potongan terakhir cakwe dan memasukkannya ke mulut tanpa menawarkan kepada Jacqueline lagi.

"Iya, sering."

Marshall menoleh.

"Iya, dia sering komplain ke saya soal itu." Jacqueline mempertegas kalimatnya.

Marshall berhenti mengunyah. Dia tidak menyangka Jacqueline akan menanggapi ucapannya.

"Kemarin Pak Marshall juga bilang, gimana caranya suami saya bisa tahan hidup sama orang kayak saya."

Wajah Marshall memerah. Kapan dia bilang begitu? Dia sama sekali tidak ingat. Was it after the Singapore Sling? Definitely not. Jadi setelah Tanqueray? Sepertinya masih sadar. Setelah Macallan?

"Is it that obvious that I have problems with my marriage, sampai-sampai orang luar seperti Pak Marshall bisa ngebaca?"

Marshall menelan ludah. Nada suaranya melunak. "Saya cuma asal ngom—"

"Never mind." Jacqueline tersenyum kecil dan beranjak. "Makasih cakwenya."

Marshall tidak menahan Jacqueline. Dia hanya menarik napas panjang, menyesali kebodohannya sambil meremas bungkus cakwe yang sudah kosong dengan kepalan tangannya.

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now