Bab 9

2.8K 456 16
                                    

"Mbak Jacqueline, udah lama ya, Pak Marshall nggak main ke sini," celetuk Kana pagi itu, saat membawakan kopi untuk Jacqueline ke ruang kerjanya.

Seminggu berlalu sejak Jacqueline dan Marshall pulang dari Singapura. Kana benar, sudah lama Marshall tidak muncul ke ruang kerja Jacqueline untuk mengganggunya.

"Bagus, lah." Jacqueline menyahut, lalu menyeruput kopinya. "Daripada ke sini cuma ngerecok doang."

Jacqueline sendiri sadar, sudah lama dia tidak berinteraksi dengan Marshall. Mulanya dia merasa senang, lama-lama dia jadi heran. Jacqueline menyadari perubahan sikap pada Marshall sejak pagi di mana dirinya terbangun di kamar hotel Marshall. Terhitung hari itu, entah mengapa Marshall terlihat selalu menghindari Jacqueline. Bukan cuma tidak lagi mendatangi Jacqueline di ruang kerjanya, tetapi Marshall juga terang-terangan menjauh ketika harus berhadapan dengan Jacqueline di kantor.

Beberapa kali mereka bertemu di lapangan parkir, saat hendak naik elevator, atau bahkan di koridor, namun setiap kali juga Marshall membalikkan badan atau pura-pura melupakan sesuatu yang mengharuskannya balik lagi. Ketika mereka duduk di rapat yang sama pun, Marshall terlihat sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Jacqueline.

Sejujurnya, Jacqueline tidak masalah dengan kelakuan Marshall yang ajaib. Dia cuma heran saja. Mungkin juga sedikit penasaran. Terselip pula tanda tanya dan sedikit perasaan bersalah, jangan-jangan dia salah bicara dengan Marshall sewaktu mabuk berat? Well, salah bicara pun juga bodo amat, sih. Saat ini Adi masih berkuasa di kantor dan Jacqueline tahu, di mata Adi, Jacqueline adalah aset penting perusahaan. Seberapapun dia membuat Marshall kesal, tidak mungkin Marshall bisa mendepaknya. But knowing that fact does not ease her strange feeling somehow.

Jacqueline berusaha mengabaikan pertanyaan-pertanyaannya dalam hatinya tentang Marshall, namun dia terpaksa harus menghadapi Marshall lagi ketika Adi memanggilnya siang itu. Adi bertanya kepada Jacqueline, apa yang sudah Marshall pelajari darinya selama ini?

"Mmm—" Jacqueline berusaha mencari jawaban yang tepat. Nothing?

"Gimana dia waktu di Singapura?"

"Well—" Lagi-lagi Jacqueline kesulitan menjawab. Apa pula yang harus dia laporkan tentang Marshall kepada Adi? Bahwa Marshall buang-buang uang di CÈ LA VI dan melucuti baju Jacqueline saat mabuk? That would make him sound like a total dick. Ini adalah kesempatan Jacqueline untuk mengerjai Marshall, tetapi Jacqueline merasa terlalu murahan untuk melakukannya.

"Apa yang terjadi sama kalian di Singapura, Jacqueline?"

Deg! Jantung Jacqueline mencelus mendengar pertanyaan Adi. Bagaimana Adi bisa tahu perihal dirinya yang terbangun di kamar hotel Marshall?! Apa Adi punya mata-mata?

"Maksudnya? Nggak ada kejadian apa-apa, Pak." Jacqueline berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar tetap tenang.

"Saya mau Marshall ikut departemen kamu dulu untuk saat ini, supaya kamu bisa mentorin dia. Tapi, dia bersikeras nggak mau ditempatkan di Finance. Udah saya omelin, dia masih nggak mau bilang kenapa." Adi menghela napas. "Anak itu jadi aneh banget sejak pulang dari Singapura."

Jacqueline sadar apa yang dimaksud Adi perihal Marshall. Selain kerap menghindari Jacqueline, entah kenapa Marshall juga menjadi lebih diam dari biasanya.

"Coba kamu ngomong sama dia, bawa dia ke departemen kamu, mentorin dia secara langsung. Saya nggak mau punya penerus yang ngebaca balance sheet aja nggak becus."

Jacqueline yakin seratus persen, tidak mungkin Marshall tidak becus membaca balance sheet. Ucapan Adi terlalu menghina, bahkan untuk dilontarkan kepada manusia tengil macam Marshall. Mana mungkin lulusan MBA dari Stanford tidak bisa membaca balance sheet?! Itu ibarat menyebut seorang penulis tidak bisa membaca alfabet! Iya, begitu menyelekitnya hinaan Adi untuk putra mahkotanya, tetapi tentu saja Jacqueline tidak berani menegur Adi.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now