Bab 17

2.2K 364 2
                                    

Selepas Marshall pergi, Jacqueline duduk di tepi ranjang untuk menarik napas sejenak. Sejak sore tadi, semuanya begitu hectic. Tangan Jacqueline menyapu sprei putih yang halus dan wangi pelembut pakaian. Apa Marshall pernah tidur di ranjang ini? It would be weird if she sleeps on the same bed he used to sleep in. Tapi, sewaktu di Singapura juga Jacqueline tidur di ranjang Marshall, kan? Raut wajah Jacqueline berubah tidak nyaman mengingatnya.

Dia beranjak. Jam sudah menunjukkan pukul delapan dan dia masih belum makan. Perutnya mulai terasa perih, namun alih-alih pergi keluar mencari makan atau memesan lewat ojol, Jacqueline malah menanggalkan semua pakaiannya dan membuka koper. Dia menarik keluar baju renang dan kimono. Jacqueline mengenakan keduanya, lalu menyambar kacamata renang dan waterproof MP3 player yang terletak di sebelahnya.

Dia naik ke lantai paling atas, ke rooftop swimming pool di lantai 35. Angin malam ini berhembus cukup kencang. Barangkali itu sebabnya tidak banyak yang sedang berenang di sana, hanya dua-tiga orang saja. Jacqueline menanggalkan kimono dan memasang earbuds di telinganya. Dia memandang berkeliling sejenak, memetakan lajur kolam di hadapannya, sebelum mengenakan kacamata renang.

Dia menenggelamkan diri sepenuhnya ke air jernih berwarna biru yang diterangi cahaya lampu kolam. She's underwater and it sets her free. Jacqueline menekan tombol di telinganya dan mulai menggerakkan kaki. Suara senar gitar yang dipetik dengan nada yang sudah dihafalnya sontak melepas segala kepenatan di dalam kepala.

Saat kepala Jacqueline naik dari permukaan air untuk mengambil napas, dia melihat dua orang lain yang berenang bersamanya meninggalkan kolam. Hanya tinggal dia sendiri sekarang. Senyumnya mengembang tipis sementara dia menyelam lagi. Jacqueline tidak menggerakkan tubuhnya. Dia hanya mengambang di pojok kolam, kemudian perlahan membiarkan dirinya tenggelam sambil mengamati luka-luka di lengannya. Jacqueline tidak pernah memberitahu siapapun soal dirinya dan Alfons, kecuali Marshall. Aneh bukan, bahwa seorang asing seperti Marshall malah menjadi satu-satunya yang tahu rahasia terdalamnya?

Terkadang, lebih mudah berbagi rahasia kepada orang asing yang tidak menghakimi daripada orang terdekat yang kita tidak tahu reaksinya akan seperti apa. Itulah alasan mengapa Jacqueline menahan sendiri semua kesakitannya. Yang utama bukan karena dia takut tidak ada yang percaya dengan sikap kasar Alfons di balik pembawaannya yang manis, tetapi karena Jacqueline takut, sekalipun ada yang percaya, dia akan dihakimi.

"Kok, bisa nggak tahu sih kalau Alfons ternyata kasar? Memangnya nggak ketahuan pas pacaran?" Well, pacaran itu tidak sama dengan hidup bersama. What do you expect dari pertemuan seminggu satu-dua kali yang cuma beberapa jam lamanya?

"Salah sendiri bego, kenapa masih bertahan dan nggak kabur atau cerai aja?" Not that easy. Iya, dia memang bego percaya begitu saja dengan ancaman Alfons. But if your dignity is stripped off to the ground and your fear is ignited into a raging flame, apakah masih bisa berpikir jernih?

"Kenapa nggak minta tolong aja sama orang lain?" Malu. Takut jadi beban. Takut menyeret orang lain ke dalam bahaya. Takut ditolak dan diabaikan. Itu sebabnya, ketika Marshall melaksanakan rencana-rencana sembrononya untuk membantu Jacqueline, sebetulnya dia merasa sangat tersentuh. He's actually the kindest and most caring person she knows now. Kalau sampai Alfons mencelakakan Marshall, Jacqueline akan sangat menyesal dan tidak pernah memaafkannya.

Jacqueline menyembulkan kepalanya ke atas air saat dia sudah kehabisan napas. Dengan tersengal dia melepas kacamata renang dan earbuds di telinganya.

"Udah saya duga, kamu ada di sini."

"Huaaah!" Jacqueline menjerit saat ada suara di belakangnya.

Marshall berdiri dengan satu tangan di dalam saku celana, satu lagi menenteng bungkus makanan yang wanginya merebak ke mana-mana.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now