Bab 21

2.2K 357 26
                                    

Di bahu jalan tol, setelah Jacqueline mengirim lokasi kepada Marshall, dia menunggu dengan sabar hingga bantuan datang. Marshall tidak ingkar janji. Dia sungguhan datang kepada Jacqueline, kali ini membawa supirnya. Ketika turun dari mobil, Marshall langsung berteriak-teriak heboh melihat luka Jacqueline.

"Kamu kenapa nggak telepon ambulans dari tadi?! Kamu bisa mati pendarahan atau infeksi!" pekik Marshall berlebihan.

"Saya rasa nggak mungkin."

"Kamu harus ke rumah sakit secepatnya! Ayo, saya bantu kamu jalan." Marshall mengulurkan tangan untuk memapah Jacqueline. "Mobil kamu juga kenapa? Ditabrak? Kenapa ada pisau di jalanan? Ini sebetulnya kamu kenapa, sih?"

"Marshall." Jacqueline berusaha menenangkan. "Jangan panik. Saya mau ke rumah sakit, tapi saya nggak mau ribet. Saya nggak mau dirawat. Saya nggak mau orang kantor jadi tahu soal ini."

Marshall tidak menyahut. Dia berjalan sangat hati-hati sambil menatap betis Jacqueline yang terbalut perban.

"Marshall?"

"Gara-gara Alfons lagi?"

Jacqueline cuma menghela napas. Itu sudah merupakan jawaban yang bisa dimengerti Marshall. Marshall membuka pintu mobil dan membantu Jacqueline untuk duduk. Dia meringis saat menekuk kakinya.

"Mobil saya gimana?" tanya Jacqueline.

"Biar dibawa supir ke apartemen saya," jawab Marshall. "Saya harus bawa kamu ke rumah sakit."

"Iya, tapi saya—"

"I know. Kamu nggak mau dirawat inap. Kamu nggak mau orang kantor tahu. You don't want any kind of attention, right?"

Jacqueline terdiam. Dia kira Marshall tidak mendengar.

"Saya punya teman dokter." Marshall menutup pintu mobil dan mulai bergerak. Dari kaca spion, Jacqueline melihat supir Marshall mulai menjalankan mobilnya. "Dia bisa bantu kita."

Marshall membawa Jacqueline ke RS Petra, tempat temannya itu praktek. Namanya Ergi, dokter spesialis bedah yang baru lulus. Ergi tercengang ketika melihat Marshall membawa Jacqueline ke hadapannya.

"Lo abis ngapain, Shall?!" ucap Ergi.

"Bukan gue, ini bukan ulah gue." Marshall menegaskan. Dia melirik Jacqueline, mengisyaratkan supaya Jacqueline memberitahu Ergi apa yang terjadi.

"Ini kelihatan seperti luka tusuk." Ergi menggumam, kemudian menatap Jacqueline. "Mbak kena tusuk?"

Jacqueline mengangguk.

"Kok, bisa?" Ergi mengernyit. "Ini seperti kena lemparan pisau."

Marshall menatap Jacqueline sambil menaikkan alis. Jacqueline membuang pandangan.

"Anyway, luka ini harus dijahit. Untungnya nggak kena arteri. Tapi, tetap jangan banyak dipakai beraktivitas dulu, ya."

"Saya nggak harus dirawat inap, kan?"

"Well, biasanya saya sarankan rawat inap semalam untuk observasi. Tapi—"

"Gi," sela Marshall. "Nggak usah pakai rawat inap. Gue yang jagain di rumah."

Jacqueline melongo mendengarnya. Bukan cuma Jacqueline yang terkejut, tetapi juga Ergi.

"O-oke." Ergi mengangguk-angguk. "Well, I guess it's fine then. Tapi, kalau ada demam atau tanda-tanda infeksi, langsung ke rumah sakit, ya."

"Siap."

Selama Jacqueline ditangani Ergi, Marshall menunggu dengan sabar di lorong rumah sakit. Setelahnya, dia membantu Jacqueline menebus obat dan mengantarkan Jacqueline kembali ke mobil.

WASTED LOVE (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang