Bab 25

2.2K 337 9
                                    

Satu jam kemudian, Marshall muncul di apartemen. Dia membawa dua kantong belanjaan yang penuh dan meletakkannya di atas meja. Setelahnya Marshall langsung membuka kulkas dan mengisinya dengan barang-barang belanjaan.

"Biar aku aja," ucap Jacqueline.

"Udah, kamu duduk aja, jangan banyak mondar-mandir." Marshall menolak. "Aku jamin besok kamu udah ngotot mau masuk kantor, kan? That's why you need to rest extra today."

Marshall menahan tangan Jacqueline yang menggenggam susu kotak. Dia terus menggenggam sampai Jacqueline melepaskan susu kotak di tangannya. Marshall mengambil susu kotak itu lalu memasukkannya ke kulkas.

"Gimana di kantor?" tanya Jacqueline, gelisah karena harus menunggu tanpa bisa melakukan apa-apa. She hates being useless.

"Maksud kamu aku, kantor atau kerjaan kamu?"

"Semuanya."

"Well, hari ini mood Papa lumayan baik, jadi aku nggak kena damprat. Aku—"

"Due diligence!" Jacqueline tiba-tiba teringat. Dia menjentikkan jari, nyari terlonjak dari kursi. "Gimana rapat due diligence sama Pak Adi?"

"It's fine."

"Are you sure?"

"Kalau berantakan, Papa pasti udah kebakaran jenggot neror kamu. Buktinya, nggak ada yang telepon kamu hari ini, kan?"

Alfons, tapi itu lain soal.

"Kantor aman. Aku nggak tahu Kana kerja atau nggak karena aku nggak main ke daerah ruang kerjamu, plus, I don't think it matters since you were not at the office anyway. Kamu sendiri gimana? Udah baikan?"

Marshall mulai memotong-motong bahan. Jacqueline melongok. That's a lot of stuff, namun sepertinya Marshall tidak bohong soal dirinya yang pernah sekolah masak. Dari caranya memotong, dia terlihat terampil dan terlatih.

"Jacques?"

"Hmm?" Jacqueline tersentak.

"Kakimu gimana? Udah baikan?"

Jacqueline mengangguk. "Iya. Aku bisa langsung lari keliling GBK sekarang juga kalau kamu mau."

"Don't push it." Marshall tertawa. "Kamu baik-baik aja karena kamu masih minum obat penahan sakit. Kamu masih harus banyak istirahat. Did you read Dear Boys?"

"Iya. Udah di volume 18."

"Wow, cepat banget."

"Itu satu-satunya hiburanku di sini, what do you expect?"

"Do you like it?"

"Yup."

"Nggak nyangka kamu suka komik basket."

"Aku dulu main basket, dari SMP sampai kuliah."

"You? No way!" Kedua mata Marshall melebar.

"Why?"

"Kamu tipe anak sekolah yang pintar banget, sombong, judes dan nggak mau berurusan sama orang lain. Masa' iya ikut tim basket?"

Jacqueline tertawa kecil. "What was that supposed to mean? Aku nggak kayak gitu. Aku punya teman-teman semasa sekolah, ikut tim basket dan nggak cuma belajar melulu."

Marshall menaikkan alisnya. "Kamu pasti bohong."

"Kenapa aku harus bohong? Ya ampun."

"Because you are nothing like that now. Di kantor kamu lonewolf, nggak punya teman, nggak hangout sama siapapun kecuali petinggi-petinggi dan itupun pasti urusan kerjaan, business lunch. You're very snobbish, you know that?"

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now