Bab 26

1.9K 318 4
                                    

Bœuf bourguignon adalah comfort food bagi Jacqueline. Sewaktu kecil, ibunya sering membuatkan untuk sekeluarga. Jacqueline tidak pernah makan bœuf bourguignon lain selain yang dibuat ibunya, jadi dia tidak punya perbandingan. Namun, baginya bœuf bourguignon buatan ibunya adalah yang paling enak.

"Gimana rasanya?" tanya Marshall, nyengir lebar dengan satu tangan masih memegang sendok sementara tangan lain memegang panci.

Jacqueline tidak segera menjawab. Dia larut dalam rasa yang ditawarkan semangkuk beef stew ala Perancis di hadapannya itu. Wanginya, rasanya... sama. Jacqueline makan dengan lahap, membuat cengiran di wajah Marshall semakin lebar. Marshall tidak lagi berdiri tegang. Dia ikut duduk dan makan bersama Jacqueline.

"Kalau enak boleh kali dipuji," celetuk Marshall.

"Enak." Jacqueline menggumam.

"Enakan mana sama yang biasa kamu makan?"

"Sama."

"Dan kamu makan di restoran bintang lima mana?"

"Ibuku yang bikin." Jacqueline terdiam sejenak sebelum menyuapi diri lagi.

"Oh." Marshall menaikkan alis. "Ibumu koki?"

"Bukan. Dia pegawai kantoran biasa."

"Pasti jago masak?"

Jacqueline menggeleng.

"Bukan koki, nggak jago masak tapi bisa bikin bœuf bourguignon." Marshall makan sesuap. "Menarik. Ada penjelasannya?"

"Ibuku campuran Perancis."

"Oh." Marshall tercengang. Satu fakta lagi tentang Jacqueline yang Marshall yakin tidak ada satupun di kantor yang tahu. She's a very discreet person. "Tunggu. Yang campuran Perancis itu ibumu atau kamu?"

"Ibuku," sahut Jacqueline singkat.

"Selama ini aku pikir kamu campuran Jepang, dari namamu, Kitahara."

"Itu juga nama ibuku."

"Ibumu campuran Perancis dan Jepang?"

Jacqueline mengangguk.

"Interesting. Kalau begitu, mau dong sekali-kali dikenalin sama ibumu. Aku pengen tahu gimana orang Perancis asli menilai masakanku."

"Ibuku udah lama meninggal."

"Oh."

Tiga kali Marshall cuma bisa mengucap 'oh' saat Jacqueline membombardir dengan fakta-fakta tentang dirinya.

"I'm sorry to hear that," ucap Marshall pelan.

"It's fine. Udah lama meninggalnya." Jacqueline menyunggingkan senyum kecil. "Waktu aku masih sekolah."

"It must be hard for you." Marshall menatap dengan iba.

"Yeah."

"Karena sakit?"

"Bukan." Jacqueline berbisik lirih. Dia membuka mulut, hendak bercerita lebih, namun dia mengurungkan niat. Sekian lama telah berlalu namun rasanya masih saja begitu berat. "Marshall?"

"Iya?"

"Tadi siang Alfons telepon aku."

Tubuh Marshall menegang mendengarnya. Sendoknya terhenti di tangan. "Terus?"

"Aku akan gugat cerai dia."

Kedua mata Marshall melebar mendengarnya. Dia menahan diri untuk tidak bersorak kegirangan.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now