Bab 37

2.2K 336 4
                                    

Menu makanan yang ditawarkan rumah sakit sama sekali tidak menggugah selera Jacqueline. Dia memaksa diri untuk menelan nasi dan semangkuk sup sementara otaknya membayangkan bœuf bourguignon, bukan yang dibuat ibunya, melainkan yang dibuat Marshall. Bukan cuma masakannya yang mondar-mandir di pikiran Jacqueline, tetapi juga sang koki sendiri. Hilda bilang Marshall babak belur setelah berkelahi dengan Alfons. Apa benar? Atau Hilda cuma melebih-lebihkan? Jacqueline ingin sekali tahu keadaan Marshall, namun dia malah mengabaikan puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Marshall di ponselnya. Hilda benar, she's too toxic for him.

"Jacqueline."

Jacqueline terkesiap. Saat dia sedang setengah tertidur, tiba-tiba ada tangan yang menyentuhnya di dalam ruang perawatan yang gelap. Jantungnya langsung berdebar cepat.

"Ini aku, Marshall."

Tak! Marshall menyalakan lampu lewat saklar di dekat ranjang Jacqueline. Dia menatap Jacqueline dengan sendu. Sudut bibirnya membentuk senyum pedih.

"Look at you," bisiknya. "Pasti sakit?"

Jacqueline merasakan kesedihan yang sama saat melihat Marshall. Hilda tidak mengada-ada. Marshall sungguhan babak belur. Salah satu matanya memar, demikian juga dengan tulang pipinya. Jacqueline tidak tahu bagian tubuh Marshall mana lagi yang biru-biru seperti wajahnya.

"Marshall."

"Ternyata aku nggak jago berantem." Marshall mengucap pelan, memaksakan senyum. "Alfons on the other hand, sangat jago gebukin orang."

"I know." Jacqueline membalas senyum Marshall dengan kegetiran yang sama. "Aku kan pernah ngalamin sendiri."

"Kamu baik-baik aja?"

"Iya."

"Sakit?"

"Sedikit," jawab Jacqueline singkat. Keadaannya tidak penting. Dia lebih ingin tahu keadaan Marshall. "Kamu baik-baik aja?"

Jacqueline tidak menjawab pertanyaan Marshall. "Bonyok dikit-dikit, but fine." Marshall tertawa kecil. "Luka-luka ini nggak penting. Yang lebih parah, aku grounded."

"What?"

"Iya, grounded. Kamu nggak salah dengar. Aku dilarang keluar dan dipenjara di rumah sama orangtuaku." Marshall menggigit bibir. "Aku bahkan nggak diizinin ke kantor dulu untuk sementara."

"Kamu serius?"

"Kapan aku pernah bercanda?"

"Selalu."

Marshall mengulum senyum. Dia menggeleng. "Nggak, Jacqueline. Kali ini aku serius."

"Kenapa?"

"Obviously karena mereka takut aku kenapa-napa. Mereka takut aku bakal ditusuk juga sama Alfons. Menurutku nggak masuk akal. Alfons lagi ditahan di kantor polisi sekarang."

"Tapi, kenapa orangtua kamu sampai segitunya? Kamu bukan anak kecil."

"Mereka kan memang begitu," gumam Marshall. "Selamanya aku cuma dianggap anak kecil—nggak. Selamanya aku cuma dianggap boneka yang bisa dikendalikan seenak mereka."

"I'm so sorry, Marshall."

"I'm so sorry for you, Jacqueline." Tangan Marshall meremas lembut jemari Jacqueline. "Tapi, jangan khawatir. Papa nggak mungkin kurung aku terus-terusan di rumah, kan? Eventually, he will let me out. In the meantime, aku juga masih bisa nyelinap keluar kayak gini kok."

Jacqueline terdiam. Sekalipun Marshall bisa diam-diam kabur seperti sekarang, rasanya Jacqueline tidak mungkin menemui Marshall lagi. Mengingat bagaimana Alfons begitu nekat menusuk Jacqueline, dia takut Marshall akan mengalami nasib yang sama jika mereka terus-terusan menghabiskan waktu bersama. Beruntung hari ini tidak terjadi apa-apa pada Marshall setelah berkelahi dengan Alfons.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now