Bab 32

2K 320 11
                                    

Jacqueline memandang berkeliling dengan takjub ketika dia tiba di rooftop, terlambat tentu saja, apalagi kalau bukan gara-gara kerjaan. Marshall betul-betul niat menghiasi rooftop dengan lampu-lampu aesthetics ala-ala kafe. Jacqueline tidak menyangka akan banyak yang datang. Ternyata Winahyu benar, petinggi yang merakyat disukai oleh staf.

"Akhirnya datang juga ibu direktur kita."

Jacqueline tersentak mendengar suara keras dari speaker, suara Marshall. Matanya segera menemukan sosok Marshall yang duduk di kursi sambil memangku gitar.

"But of course telat dan pasti karena kerjaan. Makanya kita kasih tepuk tangan dulu buat Jacqueline Kitahara Sjahrir karena di antara jadwalnya yang lebih macet daripada jalanan Jakarta, dia masih mau datang ke sini. Woohoo!"

Sumpah, Jacqueline ingin rasanya melenyapkan diri ketika Marshall dengan noraknya menyambut seolah sedang di pesta ulang tahun. Kerumunan staf lain mau-maunya pula mengikuti sorakan Marshall, membuat wajah Jacqueline memerah. Jacqueline meringis, memaksakan senyum, kemudian segera mengambil posisi sejauh mungkin dari keramaian agar bisa bersembunyi. Meskipun begitu, tetap saja banyak pasang mata yang berhasil mengekornya dan kemudian mengamatinya.

"Mbak, akhirnya datang juga."

Jacqueline menoleh. Kana berdiri di sebelahnya dengan wajah semringah. Jacqueline lega mendapati Kana di sana.

"Si Marshall mau ngapain?" tanyanya.

"Mau nge-band katanya. Eh Mbak, ada pizza di sana. Mau saya bawain?"

Jacqueline menggeleng. "Nanti aja. Nge-band sama siapa? Sendiri?"

"Sama anak-anak MT. Ada yang punya cajon di kantor. Ada yang bawa biola juga dan malah bolos les buat ikut nge-jam."

"Segitu pengennya nge-jam sama Marshall?"

"Siapa juga yang nggak sih, Mbak? Ganteng, baik, ramah. Beda banget ya sama Pak Adi?" Kana cekikikan. "Eh, tapi jangan bilang Pak Adi ya, Mbak. Hihihi."

Jacqueline mengulum senyum. Kana memang benar. Marshall ternyata sangat berbeda dengan Adi. Jacqueline pikir, Marshall tidak lebih dari bocah tengil yang sombong dan bossy. Nyatanya tidak. Dia memiliki hati yang lembut dan tulus. Marshall peka dengan apa yang dirasakan orang-orang di sekitarnya. Memang, ada kalanya dia merasa takut dan ragu, tetapi bukankah lumrah jika manusia menjadi tegang ketika berhadapan dengan sesuatu yang belum dipahaminya? Seperti Marshall ketika melihat luka-luka di tubuh Jacqueline atau saat dia melihat Jacqueline menangis. Yang penting, Marshall mau mengakui kesalahan. Bukan cuma itu, dia ingin memperbaikinya. He's very different than Alfons. Ah, kenapa juga Jacqueline jadi membandingkan Marshall dengan Alfons?

"Ehm." Jacqueline berdeham. "Pizza-nya di mana, Na?"

"Di sana, Mbak." Kana menunjuk sebuah meja yang penuh dengan tumpukan kotak pizza. "Mau saya ambilin?"

"Nggak usah. Saya ke sana aja."

Jacqueline permisi. Dia mendatangi meja pizza dan membuka salah satu kotak.

"Permisi, Bu Jacqueline mau rekues lagu juga?"

Jacqueline tersentak. Ada seorang staf muda yang tahu-tahu muncul dengan ponsel di tangan, siap mengetik.

"Ah-"

"Nanti saya catat dan kasih tahu Pak Marshall."

"Oh, nggak." Jacqueline menolak halus. "Nggak usah. Terima kasih."

"Nggak apa-apa, Bu. Biar seru."

Jacqueline membuka mulut untuk menolak lagi. Namun, belum sempat ada kata terucap, dia kembali mendengar suara Marshall lewat speaker.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now