Bab 15

2.4K 376 21
                                    

Mampus. Mampus. Mampus! Hanya ada kata 'mampus' yang menggaung-gaung di kepala Jacqueline saat ini. Kata 'mampus' itu tersebut setiap kali dia menarik dan mengembuskan napas, dengan tempo jantungnya yang berdetak begitu cepat.

Pukul enam sore tadi, Jacqueline menepati janjinya untuk ikut Marshall. Marshall sudah duduk di kursi kemudi mobilnya dengan kedua tangan menggenggam setir. Ini pertama kalinya Jacqueline berada di mobil Marshall yang dibelinya dengan dana mobil dinas kantor yang luar biasa over budget. Di luar dugaan Jacqueline, mobil Marshall sangat rapi dan semua komponennya masih orisinal.

Tidak ada modifikasi sama sekali. Tidak ada musik jedag-jedug yang memekakkan telinga dan mendistorsi otak. Jika dia tidak tahu ini adalah mobil Marshall, Jacqueline akan mengira ini adalah mobil seorang eksekutif muda yang cerdas dan berwibawa, bukan mobil putra mahkota perusahaan konglomerat yang otaknya tertinggal di warung nasi Padang dan cacat wibawa sejak lahir.

"Bapak nggak akan nyulik saya, kan?" Jacqueline masih bertanya dengan curiga, menatap Marshall dengan skeptis sebelum menutup pintu mobil.

"Jacques, ini Sudirman. Saya mau nyulik kamu, mau diumpetin di mana? Di kolong Dukuh Atas?" Marshall memutar bola matanya. "Buruan, tutup pintunya. Kita dikejar waktu, semua timing harus presisi."

Jacqueline tidak mengerti apa yang dimaksud Marshall, mengapa dia sok-sokan meracau seperti seorang agen rahasia yang sedang menjalankan misi? Namun, Jacqueline menuruti permintaan Marshall. Dia baru tahu jawabannya dua puluh menit kemudian, saat mobil Marshall masuk ke gedung perkantoran lain, La Place, dan dengan tergesa membiarkan petugas valet mengambil alih.

Jantung Jacqueline mencelus saat mereka melewati security check point di lobi dan dia melihat sosok yang baru saja keluar dari elevator. Jacqueline bisa mendengar Marshall menggumam pada dirinya sendiri, "Just in time". Kemudian Marshall melangkah, tidak menoleh untuk memeriksa apakah Jacqueline mengekornya atau tidak. Pandangan matanya lurus, tajam ke arah satu titik... Alfons.

"P-Pak Marshall mau ngapain?" Jacqueline berbisik, namun tentu saja Marshall tidak mendengar.

Langkah Marshall baru berhenti di depan sosok Alfons dan rekan-rekan kerjanya. Darah Jacqueline berdesir. Tiba-tiba saja tubuhnya gemetar. Dia ingin kabur sejauh-jauhnya, tetapi kakinya terpaku.

"Hei." Marshall mencegat Alfons. "Kamu Alfonsus Subrata?"

Dua lelaki berbadan tegap saling membusungkan dada di hadapan satu sama lain. Kalau ini drama Korea, semua penonton perempuan sudah histeris ingin menjadi Jacqueline. Tapi, percayalah, saat itu Jacqueline hanya ingin menghilang saja dari muka bumi.

"Kamu siapa?" Alfons mengernyit, nampak tidak senang dengan sapaan Marshall yang dingin tanpa basa-basi.

"Saya asumsi, mereka rekan-rekan kerjamu?" Marshall memandang berkeliling. Mendengar diri mereka disebut, rekan-rekan Alfons turut menghentikan langkah dan menyimak Marshall.

"Kamu siapa? Ada apa?" Alfons masih mencecar Marshall dengan pertanyaan yang sama.

"Apa kalian tahu perilaku orang ini di luar kantor?" Marshall mengalikan pandangan kepada rekan-rekan kerja Alfons. "Dia suka menganiaya istrinya, Jacqueline. Saya lihat sendiri tubuhnya penuh luka, wajahnya ketakutan, semua karena perbuatan laki-laki bejat yang merupakan rekan kerja kalian ini."

Alfons terperanjat mendengarnya. Kedua matanya melotot. Bukan hanya dia yang kaget dengan ucapan Marshall, tetapi juga rekan-rekan kerjanya. Melihat reaksi mereka yang sesuai harapan, Marshall semakin mendapat angin.

"Siapa kamu?" Alfons mendesis. "Mau apa kamu ke sini?"

"Kamu mau tahu siapa saya?" Marshall melempar senyum yang mencemooh. "Saya Marshall, pacar Jacqueline. Saya ke sini untuk menegaskan ke kamu, jangan pernah macam-macam lagi sama Jacqueline kalau kamu nggak mau cari mati."

WASTED LOVE (Completed)Kde žijí příběhy. Začni objevovat