Bab 13

2.4K 385 7
                                    

Jam digital di meja wastafel menunjukkan pukul setengah dua belas ketika Jacqueline meliriknya. Sudah tengah malam, tetapi alih-alih tidur supaya bisa bangun pagi dengan segar untuk rapat esok hari, Jacqueline malah masih duduk memeluk lututnya di lantai kamar mandi—naked, bleeding, ashamed. Darah di sudut hidungnya sudah mengering. Rasa nyeri di ulu hatinya mulai mereda. Sayangnya, rasa sakit di hatinya semakin menjadi-jadi.

Saat makan malam, Jacqueline segera memesan wine supaya dia menjadi mabuk dan penderitaannya bisa sedikit berkurang sewaktu ditiduri Alfons. It was all good. Alfons juga sedikit mabuk. He was a bit rough, but it was still bearable. Setelah semuanya usai dan Jacqueline hendak menarik napas lega, tiba-tiba saja Alfons menampar wajahnya.

"Fuck you, Jacqueline!" Alfons mengumpat. "Kamu bohongin aku?!"

Napas Jacqueline sontak memburu. Rasa mabuknya pudar dengan cepat, berganti dengan ketakutan.

"Kenapa, Alfons?" tanya Jacqueline lirih.

"I don't see any blood here." Alfons mendesis, menunjukkan kondom yang baru saja dia pakai di depan wajah Jacqueline. "Kamu bohong, kan? Why did you lie, you b****? Karena kamu nggak mau tidur denganku atau kamu nggak ingin punya anak dariku?!"

Jacqueline tahu jawabannya tetapi dia tidak bisa mengatakannya. Walau dia diam pun, emosi Alfons tetap memuncak. Alfons melempar kondom bekasnya ke dada Jacqueline. Isinya berceceran keluar, mengotori tubuhnya dan seprai putih tempat tidur mereka.

"Jawab!" Alfons berteriak, lalu meninju wajah Jacqueline. Dia merasakan nyeri hebat di hidungnya, tetapi Jacqueline sudah terlatih untuk menahan sakit. Serba salah. Jika dia menjawab, Alfons akan semakin marah. Jacqueline tidak mau membayangkan apa yang terjadi jika Alfons semakin marah.

"Berani-beraninya kamu membodohi aku?! Bohongin aku?!"

Jacqueline terbatuk saat Alfons meninju ulu hatinya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lalu satu tamparan lagi yang membuat hidungnya berdarah. Setelah itu Alfons turun dari ranjang. Napasnya tersengal isao menjadikan Jacqueline samsak. Dia mengenakan kembali pakaiannya lalu keluar kamar, membanting pintu begitu keras sampai-sampai Jacqueline berjengit.

Jacqueline sudah hafal kebiasaan Alfons. Sebentar lagi dia pasti akan pergi meninggalkan rumah. Benar saja. Tak lama kemudian terdengar lagi suara pintu gerbang membuka dan suara deru mesin mobil. Sesudah itu Jacqueline baru berani bangkit dan menyeret langkahnya ke kamar mandi. Dia jatuh terduduk di atas lantai, menahan sakit. Meskipun demikian, dia tidak menangis. Entahlah. Air matanya sudah mengering. Alfons sudah terlalu banyak membuatnya menangis di masa lalu, dia sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata untuk laki-laki itu.

Jacqueline menunggu dalam hening hingga tubuhnya bisa diajak kerja sama lagi. Dia membersihkan badan dan mengosongkan pikiran. Setelahnya berpakaian rapi, mengambil tas, ponsel dan kunci mobil, lalu pergi ke kantor.

Iya, kantor. Di tengah malam buta, saat manusia-manusia lain dengan nyaman di rumah masing-masing ditemani orang-orang yang mereka cintai, Jacqueline malah pergi ke kantor. The office is safer than her house. The office is her safehouse.

Setibanya di kantor, dia menyeduh kopi dan mulai bekerja, seolah-olah hari sudah pagi. Menjelang subuh, Jacqueline merasa sangat pening. Dia merebahkan kepala di atas meja dan berniat memejamkan mata sejenak.

"Jacques!"

Entah berapa lama Jacqueline tertidur. Ketika dia tersentak bangun, matahari sudah tinggi. Jacqueline terperanjat melihat sosok Marshall yang dengan kurang ajar duduk di atas meja kerjanya. Marshall terkekeh melihat Jacqueline yang bangun dalam keadaan terkejut.

"Kok, kagetan gitu, sih? Kamu gampang bangun ya orangnya. Cuma saya teriakin namanya langsung melek."

Jacqueline kesal bukan main dengan Marshall, tetapi hari masih pagi. Dia tidak mau merusaknya dengan buang-buang tenaga untuk orang ini.

"Kamu semalam nggak pulang, ya?" celetuk Marshall.

"Pak Marshall mau apa?"

"Omg. Berapa kali saya harus bilang, jangan panggil saya Bapak! Saya ini bukan bapak-bapak, bukan juga bapak kamu!" Marshall menggerutu.

"What do you want?" Jacqueline menopang kepalanya yang masih terasa berat.

"Nothing. Pengen ngecek aja keadaanmu gimana." Marshall turun dari meja kerja Jacqueline. Dia menyunggingkan senyum tipis. "Kangen—"

"Jangan—"

"—ke kantor."

"Oh."

Jacqueline salah tingkah. Baru saja dia siap menyemprot Marshall yang dikiranya hendak flirting tanpa tahu aturan.

"Kamu pikir saya mau ngomong apa? Kangen kamu?" Marshall menaikkan sebelah alisnya.

Jacqueline memalingkan wajah dengan kesal. Sepertinya Marshall sudah betul-betul kembali ke tabiat aslinya yang berisik dan menyebalkan.

"Anyway, jam enam nanti ikut saya, ya," ucap Marshall.

"Ke mana dan untuk apa?"

"Rahasia dan rahasia."

"Ngapain saya harus ikut Pak Marshall?"

"Karena saya bos kamu."

Jacqueline mendengus, tersenyum mencemooh sementara matanya memandang Marshall dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia lebih cocok jadi model daripada jadi petinggi kantor. He's too playful. Lihat saja pakaiannya! Kaos putih model v-neck, celana jins yang digulung seperti kebanjiran, sneakers Converse biru terang. Meskipun Marshall mengemasnya dengan blazer, tetap saja Jacqueline menilai penampilannya kelewat santai. Ini korporat, bukan startup. Ini perusahaan tradisional, bukan Google!

"Bisa nggak sih, kalau ke kantor itu pakai baju yang benar." Jacqueline memutar bola mata.

"Astaga, ini kurang benar apalagi?" Marshall menepuk dadanya. "Masih untung saya pakai baju. Kamu tau, di negara empat musim yang panasnya luar biasa saat—"

"Maaf, tapi saya harus kerja lagi sekarang." Jacqueline memotong kalimat Marshall. "Dan saya nggak bisa dan nggak mau ikut Pak Marshall ke mana pun itu setelah jam kantor."

Jacqueline beranjak dari kursinya, mengumpulkan laptop, agenda dan ponselnya lalu berjalan menuju pintu.

"Kamu mau ke mana?" tanya Marshall.

"Kerja, Bapak Marshall Wardhana." Jacqueline menjawab. "Semua orang dewasa di sini punya pekerjaan. Cuma Bapak yang nggak."

"Oh, jangan salah." Marshall mencegat langkah Jacqueline. Dia nyengir lebar. "Justru pekerjaan saya adalah memberikan kalian-kalian ini pekerjaan."

"Just let me work. Okay?"

"Oke, oke." Marshall menyingkir. "Tapi, nanti sore jam enam, ya?"

"Sekali lagi, mau ke mana dan buat apa? Saya bisa laporin Pak Marshall ke polisi dengan tuduhan penculikan kalau nggak jelas kayak gini."

Marshall terdiam. Raut wajahnya perlahan berubah menjadi serius. Dia terlihat kesulitan memilih kata-kata yang tepat. "To save you. To fix you."

"Haaah?!"

"Udahlah, ikut aja, jangan banyak tanya. Kamu akan berterima kasih sama saya nantinya."

"Nggak—"

"Please, Jacqueline." Marshall menatap Jacqueline dengan memelas. Kalau sorot matanya tidak berdaya seperti ini, Marshall terlihat jinak. Actually, lebih tepat disebut cute, seperti anak kucing yang kehujanan dan meminta belas kasihan. Siapa juga yang tega?

"Bodo amat, saya nggak peduli."

Of course, cuma Jacqueline yang tega. Jacqueline Kitahara Sjahrir, manusia paling apatis dan dingin seantero kantor dengan sejuta benteng tajam yang mengelilingi hatinya.

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now