Bab 29

2K 303 8
                                    

Ingin rasanya Jacqueline mengumpat keras-keras sewaktu lampu elevator tiba-tiba meredup dan gerakannya berhenti. Sekembalinya dari rumah sakit, Jacqueline cuma membeli sandwich dari kafe di lobi gedung kantor untuk makan malam dan mulai lembur. Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam ketika dia akhirnya selesai bekerja dan hendak pulang. Lelah, mengantuk dan ingin rasanya dia bisa teleportasi dan langsung merebahkan diri di ranjang saat itu juga. Saat sedang menunggu elevator, sosok Marshall muncul di sebelahnya, membuat Jacqueline kaget.

"Kamu belum pulang?" tanya Jacqueline.

"Ini mau pulang." Marshall menjawab singkat.

Elevator datang dan keduanya masuk. Baru turun dua lantai, mendadak elevator itu mati. Jadi di sinilah dia sekarang, stuck dengan Marshall.

"Shit." Jacqueline mengumpat lagi dalam gumaman. Dia berkali-kali memencet bel darurat tetapi tidak ada yang menyahut.

Marshall menyalakan layar ponselnya. 23:38. "Nggak bakal ada yang nyahut, lah. Udah jam segini. Mana mungkin masih ada yang kerja."

"Bukannya bel emergency harus dijaga 24 jam?!"

Marshall mengangkat bahu. "Teorinya begitu. Tapi, kenyataannya?"

Jacqueline mengusap sudut matanya. Rasa kantuknya sudah hilang. Dia mengeluarkan ponsel dengan gusar.

"Kamu mau ngapain?" tanya Marshall.

"Panggil bantuan."

"Ke siapa? Udah jam segini. Mau nerorin satu-satu anak buahmu untuk nolongin kamu?"

Jacqueline terdiam.

"Ini pasti cuma mati lampu sejenak. Nanti juga nyala lagi. Sabar aja." Marshall melipat tangan di dada, lalu bersandar pada dinding elevator.

Lima menit mereka menunggu, namun elevator itu tidak kunjung bergerak juga. Lampu di dalam masih mati dan tidak ada sahutan apa-apa dari speaker untuk emergency. Jacqueline mengeluarkan ponselnya lagi dengan gelisah. Dia menjadi lebih gelisah ketika melihat baterai yang tinggal satu persen. Jacqueline kembali memencet tombol emergency berkali-kali.

"Oke, ini mulai aneh." Marshall tidak lagi bersandar dengan santai. Dia turut mengeluarkan ponsel dan mendecak. "Shit. Tinggal satu persen."

"Are you kidding me?!" Jacqueline mengusap wajah. Kali ini gantian dia yang bersandar pasrah ke dinding elevator. Entah kapan elevator ini akan kembali menyala atau mereka akan diselamatkan. Worst case scenario besok pagi pukul delapan. Berarti dia harus tidur di sini, menghabiskan delapan jam bersama Marshall dalam kegelapan?!

"Bateraiku habis," ucap Marshall, sementara ponselnya meredup lalu mati total. "HP kamu gimana?"

"Dead as hell." Jacqueline menggumam. Dia menghela napas lalu duduk berselonjor di lantai. Jacqueline memeluk tasnya dan memejamkan mata. Kalau tidak tahu berapa lama dia akan terperangkap di sini, sebaiknya dia tidur dulu saja.

Ada cahaya kecil yang memancar, yang membuat Jacqueline kembali membuka mata. Cahaya itu datang dari smart watch di pergelangan tangan Marshall.

"This is better, right?" celetuk Marshall, ikut duduk berselonjor di sebelah Jacqueline. "Daripada gelap total."

"Thanks." Jacqueline menyahut.

Rasanya sangat canggung duduk berdua dalam kegelapan tanpa ada satu hal pun yang bisa mengalihkan perhatian mereka. Marshall menoleh. Dia melihat Jacqueline sudah memejamkan mata. Walaupun begitu, Marshall tahu Jacqueline kesulitan untuk terlelap. Keningnya berkerut, menandakan ada banyak hal yang tengah berseliweran di kepalanya.

WASTED LOVE (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang