Bab 11

2.6K 426 8
                                    

Marshall membiarkan kemejanya jatuh begitu saja, menunjukkan Jacqueline sesuatu yang belum pernah dia tunjukkan kepada siapapun sebelumnya. Jacqueline terkesiap melihat bekas-bekas luka di punggung Marshall. Guratan-guratan itu lebih menyedihkan daripada yang dia miliki. Seketika Jacqueline penasaran, apa yang terjadi pada Marshall sampai dia mendapatkan bekas-bekas luka seperti ini?

"Semuanya perbuatan ayah saya," ujar Marshall tanpa Jacqueline harus bertanya, seolah bisa membaca pikirannya. "For everything I did that did not please him. For each of his expectations that I did not meet."

Jacqueline menelan ludah. Dia tahu, Adi terkenal bermulut tajam. Tapi, dia tidak menyangka ternyata Adi juga ringan tangan. Mulut Jacqueline hanya membuka dan mengatup untuk beberapa saat. Ada banyak hal yang ingin dia ucapkan kepada Marshall. Rasa ibanya tiba-tiba bangkit. Jacqueline jadi merasa dia memiliki teman dengan nasib yang mirip. Bukan cuma itu, mendadak dia merasa semua beban yang selama ini dia pendam sendirian di dada kini meletup-letup. Dia juga ingin berbagi cerita dengan Marshall, tentang dirinya. Namun, mulut Jacqueline tetap terkunci rapat.

"It shocked you, right? Kamu masih mengira saya sengaja bikin ayah saya marah di kantor? Do you think I enjoyed all of this? Ayah saya udah nggak pernah mukulin saya lagi sekarang, but all these scars continue to instill fear in me."

Jacqueline menelan ludah.

"Kalau saya harus ngomong jujur, saya nggak pernah mau jadi penerus perusahaan ini, mengemban tanggung jawab yang begitu besar, bekerja di bawah ayah saya. Saya enggan. Mungkin itu sebabnya saya nggak pernah bisa bekerja dengan baik di sini. I always fail."

"Kenapa Pak Marshall nggak kabur aja?" balas Jacqueline. "You could have stayed in the US, kerja di sana and have your own peaceful life."

"Kenapa kamu juga nggak kabur dari Alfons?" Marshall malah balik bertanya.

Jacqueline membisu. Tidak semudah itu.

"Nggak semudah itu, kan?" lanjut Marshall. "Sama, saya juga. Di sini, saya menderita. Tapi, di sisi lain saya juga nggak tau gimana caranya membebaskan diri dari jerat ayah saya, at least for now. Until then, I just have to bear the pain."

Jacqueline merasa seolah ada yang meremas hatinya. Dia merasakan hal yang sama dengan Alfons. Mengetahui bahwa Marshall juga terperangkap dalam situasi serupa membuat Jacqueline merasa sedikit terhibur.

"Saya maklum kalau kamu menghindari saya setelah ini, kalau kamu bingung harus berbuat apa. Saya juga melakukan hal yang sama ke kamu, kan?"

Marshall meraih kemejanya dari lantai dan kembali mengenakannya.

"Saya—" Jacqueline menerawang. "—akan coba untuk berusaha bantu Pak Marshall sebisa saya. Like I did just now. Setidaknya sampai Pak Marshall punya jalan keluar."

Marshall terdiam.

"Anyway, saya ke sini sebetulnya mau minta maaf," ucap Jacqueline. "Maafin saya udah nampar Pak Marshall. Nggak seharusnya saya bersikap seperti itu. Selain karena Pak Marshall adalah atasan saya di kantor yang harus saya hormati, menampar orang itu perbuatan yang kasar. Jadi, saya minta maaf."

Marshall tertegun. Dia menatap Jacqueline dengan sendu, membuat Jacqueline bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan Marshall dan respon apa yang akan diberikannya.

"Saya—" Marshall membuka mulut dengan ragu-ragu. "—juga minta maaf. Seharusnya saya langsung balikin cincin itu ke kamu."

"Saya maklum. Pak Marshall juga nggak tau itu milik siapa, nggak ada nama saya."

Marshall menggeleng. "Saya tau itu milik kamu. Saya tanya ke Kana siapa nama suami kamu."

"Kana tau soal ini?" Jacqueline mengerjap kaget.

"Iya," sahut Marshall. "Tapi, saya ancam dia untuk nggak bilang apa-apa ke kamu. Jangan salahkan dia."

Jacqueline menaikkan sebelah alisnya.

"Maaf, sikap saya betul-betul kayak anak kecil. I thought it was fun to be messing around with you."

Jacqueline mengerutkan dahi. Rasa simpatinya terhadap Marshall menguap seketika. Orang ini gila, ya? Kenapa kelakuannya seperti anak kecil? Ternyata dia sengaja menyembunyikan cincin Jacqueline hanya untuk mengerjainya?!

"What the fuck is wrong with you?!" semprot Jacqueline. "Pak Marshall tau apa yang terjadi saat cincin itu hilang? Semua luka-luka yang Bapak lihat di tubuh saya, semua itu yang terjadi gara-gara Pak Marshall nggak mengembalikan cincin saya!"

Kepala Marshall tertunduk. Tangan Jacqueline kembali mengepal.

"Kamu bebas menampar saya lagi. I deserve it."

Jacqueline merasa marah. Darahnya berdesir. Jantungnya berdebar cepat. Gara-gara Marshall, dia dihajar habis-habisan oleh Alfons. Gara-gara Marshall, dia harus menahan sakit dan tangis karena perbuatan Alfons. Gara-gara Marshall—well, apa benar gara-gara Marshall? Seandainya Marshall tidak menemukan cincin Jacqueline pun, Alfons akan tetap menjadikannya samsak. Dengan Marshall segera mengembalikan cincin Jacqueline juga tidak menjamin Alfons tidak akan menghajarnya. She could be pleasing him and still he makes her suffer.

Semua salah Jacqueline sendiri karena sudah menghilangkan cincin kawinnya. Semua salah Jacqueline sendiri karena menikah dengan orang yang salah seperti Alfons. Semua salah Jacqueline sendiri karena terlalu pengecut untuk keluar dari situasi yang membuatnya menderita. Marshall ibarat orang asing yang kebetulan lewat dan tiba-tiba terseret ke dalam tempat kejadian perkara lalu menunjukkan potensi untuk dijadikan kambing hitam. It doesn't seem fair.

"It's not really your fault." Jacqueline mengucap lirih. Dia melepas kepalan tangannya. "Saya nggak bisa nyalahin siapa-siapa. Semua salah saya sendiri."

Marshall dan Jacqueline sama-sama terdiam. Larut dalam keputusasaan masing-masing. Dari balik kaca jendela, matahari terlihat mulai terbenam. Warna emas kemerahan menghiasi langit ibu kota yang berlukiskan gedung-gedung tinggi.

"Apa yang membuat kamu nggak bisa pergi begitu aja dari Alfons?" celetuk Marshall, bertanya kepada Jacqueline dengan hati-hati.

Pertanyaan Marshall membuat tubuh Jacqueline menegang. Tidak ada yang pernah menanyakan hal itu kepada Jacqueline sebelumnya, sebab tidak ada yang tahu tentang keadaannya. Dia tidak pernah bercerita pada siapapun. People wouldn't care much if she told her story anyway.

"Saya diancam. Kalau saya menceraikan saya atau kabur, dia akan membunuh saya," ujar Jacqueline. "Sampai sekarang saya belum terpikirkan jalan keluar. It's not that easy. It's just hard to explain. Yang bisa saya lakukan cuma menghindar sebisanya."

Kedua mata Marshall membelalak mendengarnya. Jacqueline sendiri kaget dengan ucapannya yang begitu jujur kepada Marshall. Dia tidak tahu apa yang mendorongnya bercerita. Entah rasa sakit yang sudah terlalu lama membuatnya sesak, atau cahaya matahari sore yang begitu melembutkan suasana, atau keterbukaan Marshall yang membuat Jacqueline merasa senasib dan melunakkan hatinya.

Setelah kesunyian melanda mereka cukup lama, Marshall memecahkan keheningan. Sorot matanya menatap Jacqueline dengan iba. "Ada yang bisa saya lakukan buat kamu?"

Jacqueline menggeleng, raut wajahnya begitu getir. "Saya aja nggak bisa membantu diri saya sendiri, apalagi Pak Marshall?"

Kata-kata Jacqueline membuat Marshall tertegun.

"Anyway, saya duluan, masih banyak kerjaan. Nggak usah terlalu mikirin ucapan saya." Jacqueline berusaha menyunggingkan senyum tipis. "I'll be fine. You will too. And eventually, this too shall pass."

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now