Bab 3

4.5K 586 14
                                    

Marshall yakin bahwa cincin yang ditemukannya di lapangan parkir gedung kantor adalah milik Jacqueline. Marshall melihat sendiri bagaimana cincin itu jatuh keluar saat Jacqueline menutup pintu mobilnya. Kemudian Marshall memungut cincin tersebut dan menyimpannya. Mengapa cincin itu bisa jatuh? Marshall juga tidak tahu. Mengapa Marshall tidak segera mengembalikannya? Tidak tahu, iseng saja.

"Iseng?!" Kana memekik mendengar jawaban Marshall. Buru-buru Marshall meletakkan jari di bibir sambil memelototinya, sebelum suara Kana mengundang perhatian.

"Kenapa Pak Marshall iseng ngumpetin cincin Mbak Jacqueline?!" Kana lanjut memekik, kali ini hanya dalam bisikan. Meskipun begitu, Marshall masih bisa melihat jelas urat-urat halus di leher Kana yang menegang.

"Kenapa, ya? Nggak tau juga." Marshall mengangkat bahu, mengatupkan kembali telapak tangannya dan memasukkan cincin itu ke saku celananya. Barusan dia bertanya kepada Kana, apakah benar suami Jacqueline (atau mantan suaminya) bernama Alfons. Kana mengiyakan dan balik bertanya darimana Marshall tahu. Lalu Marshall menceritakan perihal dirinya menemukan cincin kawin Kana dan menunjukkannya, membuat Kana membelalak.

"Pak Marshall, maaf tapi sebaiknya Bapak ngembaliin cincin itu ke Mbak Jacqueline," pinta Kana.

"Emangnya Jacqueline nyariin cincin ini?"

"Saya nggak tau, Mbak Jacqueline nggak bilang. Tapi, pasti cincin itu penting buat dia."

"Kalau penting, harusnya udah nyari, dong?"

"Saya nggak tau apakah dia nyariin atau nggak, Pak. Mbak Jacqueline nggak pernah cerita apa-apa ke saya."

"Berarti cincin ini nggak penting buat Jacqueline."

"Mana mungkin cincin kawin nggak penting, Pak?"

"Kalau sudah cerai, jadi nggak penting lagi kan?"

"Mbak Jacqueline belum cerai."

"Belum? Berarti akan cerai?"

Kana melongo mendengar kalimat Marshall yang diucapkan begitu sembarangan. "Saya nggak tau. Pak Marshall, kalau Bapak nggak ngembaliin cincin itu, saya akan bilang ke Mbak Jacqueline."

"Silakan aja, kalau kamu sudah nggak berminat lagi kerja di sini."

Wajah Kana berubah menjadi merah. Dia menelan ludah. "Pak Marshall masih marah sama Mbak Jacqueline karena ngadu ke Pak Adi?"

Marah? Jelas, Marshall marah luar biasa, tepatnya karena dia merasa begitu dipermalukan oleh ayahnya. But honestly, that one cup of coffee from Jacqueline resolved everything. Masalahnya, kopi tersebut juga berhasil menciptakan rasa baru dalam hati Marshall. Cinta? Pfft. Jelas bukan! Rasa penasaran. Marshall penasaran, orang seperti apakah Jacqueline sebenarnya? Dia memberikan kesan yang begitu dingin lewat setiap tutur katanya, tetapi dengan lembutnya mengirimkan kopi kepada Marshall seolah meminta maaf sudah membuatnya dipermalukan. What kind of person does that?

"Asli, Pak. Lebih baik jangan cari gara-gara sama Mbak Jacqueline. Kasihan dia, masalahnya sudah banyak," ucap Kana.

"Namanya juga direktur, jelas masalahnya banyak," sahut Marshall ringan. "Apalagi direktur dadakan."

Jacqueline memang belum lama mengemban jabatan itu. Banyak yang bilang dia beruntung. Jika bosnya tidak mati mendadak, rasanya tidak mungkin staf semuda Jacqueline bisa naik ke posisi direktur. Jacqueline sendiri lebih menganggapnya sebuah beban. Dia tahu, dia menjadi indispensable sekarang, lantaran tidak ada lagi staf di perusahaan yang lebih kapabel mengemban jabatan tersebut, but all the pressure, all the eyes watching her, sometimes it's too much.

Marshall mengetuk dua kali meja kerja Kana sebelum membalikkan badan dan pergi. Saat itu Marshall melihat Jacqueline sedang berjalan ke arah pintu ruangannya yang berada di dekat meja kerja Kana. Marshall menyapa Jacqueline dengan mengangkat alis saat berpapasan dengannya, sementara Jacqueline hanya mengangguk sekilas dengan ekspresi yang datar dan lurus.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now