Bab 24

1.9K 342 20
                                    

Selesai makan, ketika Jacqueline sedang lanjut membaca Dear Boys, tiba-tiba ada telepon masuk dari nama yang sontak membuatnya tegang. Alfons. Jacqueline cuma menatap layar ponsel tanpa menjawabnya hingga panggilan itu berakhir. Alfons tidak menyerah. Dia kembali menelepon Jacqueline sampai tiga kali sebelum mengirim pesan.

Alfons
Jacqueline, tolong angkat teleponnya. Aku harus ngomong sama kamu.

Jacqueline menelan ludah, menatap notifikasi pesan dari Alfons seolah bom waktu yang siap meledak. Alfons kembali menelepon dan kali ini Jacqueline menjawab panggilannya.

"Jacqueline?" Terdengar suara Alfons di seberang sana. Tenang, pelan, tidak lagi emosi.

"Ada apa?" balas Jacqueline datar. Dia meremas-remas jarinya. Jantungnya berdetak cepat. Rasa takut itu masih tersisa, sekalipun Alfons sudah jauh darinya.

"Maafin aku," ucap Alfons. "Aku telepon untuk minta maaf sama kamu. Aku nggak tahu apa yang terjadi, apa yang merasuki pikiranku, kenapa aku bisa-bisanya ngelempar pisau ke kamu. I hope you're alright."

Jacqueline hanya diam saja. Telapak tangannya berkeringat semakin hebat.

"Tapi, aku juga nggak nyangka kamu mukul kepalaku dengan gelas," lanjut Alfons. "Why did you do that?"

Hening.

"Jacqueline?"

"Karena kalau aku nggak mukul kamu duluan, kamu pasti akan menghajar aku habis-habisan." Jacqueline menjawab.

"Kenapa kamu berasumsi kayak gitu?"

"Karena itulah yang selalu terjadi selama ini."

"Selalu? Jadi, di matamu, setiap aku marah aku selalu mukul kamu?"

Jacqueline terdiam.

"Don't you think it's a little bit exaggerated, Jacqueline?"

"Iya, kamu memang nggak selalu mukul aku setiap kali marah, Alfons. Tapi, cuma butuh satu kesempatan aja untuk kamu bunuh aku."

"Bunuh? That's a very, very strong word. Aku bukan orang jahat, aku—"

"Kamu bukan orang jahat, tapi kamu jelas bukan suami yang baik." Jacqueline menyela. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh keberanian yang dia punya. "Aku nggak bisa hidup sama kamu lagi, Alfons."

"Maksud kamu apa?"

"Lebih baik kita pisah aja."

"Pisah?"

"Cerai."

Baik Alfons maupun Jacqueline sama-sama terdiam usai Jacqueline mengucapkan kata itu. Dua tahun menikah, bagaimanapun mereka berseteru, tidak pernah sekalipun Jacqueline mengatakannya. Tetapi, kali ini dia sudah tidak tahan lagi. Jacqueline sungguh serius, hanya butuh satu hari sial di mana emosi Alfons meledak untuk akhirnya mati di tangannya. Jacqueline belum ingin mati sekarang.

"Apa ini gara-gara laki-laki itu?" Suara Alfons menggeram. "Marshall Wardhana?"

"Nggak ada hubungannya dengan dia."

"Wajar sih, Jacqueline. Kalian ketemu setiap hari, dia lebih mapan, mungkin kamu menganggap dia lebih sebanding denganmu daripada aku."

"Alfons, dengar baik-baik," ucap Jacqueline datang. "Aku mau pisah dari kamu karena bukan cuma sekali kamu ngehajar aku. Aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketakutan."

"Kenapa kamu bikin kesan seolah aku satu-satunya di sini yang berbuat salah? Kamu juga banyak salahnya, Jacqueline. Itu sebabnya aku sampai marah besar. Jangan kira kamu satu-satunya yang suci di hubungan ini!"

WASTED LOVE (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang