Bab 14

2.4K 365 3
                                    

Marshall gagal meminta Jacqueline baik-baik untuk ikut dengannya sore itu. Dia juga jelas-jelas gagal menebar pesona dan membuat Jacqueline luluh untuk menuruti perintahnya. Sumpah, Marshall tidak tahu lagi harus bagaimana. Dari semua perempuan yang dikenalnya, Jacqueline-lah yang paling sulit ditaklukkan. Dia seperti kucing yang malah mencakar ketika dibelai, lalat yang kabur dengan gesit ketika hendak ditangkap, dan kecoak yang tidak mati-mati meskipun sudah diinjak berkali-kali. Oh, Jacqueline pasti akan gusar jika tahu dirinya disamakan dengan hewan.

Akhirnya, seperti membongkar rencana surprise ke orang yang berulang tahun lantaran orang tersebut ogah diajak ke tempat kejutan, Marshall terpaksa membongkar rencananya—well, separuh dari rencananya—supaya Jacqueline mau ikut. Dia tahu Jacqueline akan keluar ruang kerja tepat pukul dua belas siang untuk makan. Jika Marshall datang lima menit sebelumnya, Jacqueline tidak punya alasan untuk mengusirnya lantaran sibuk bekerja.

Pukul 11.50, Marshall muncul di area ruang kerja Jacqueline dengan sebuah map. Dia sudah berganti pakaian. Sial, satu komentar dari perempuan itu sudah membuat rasa percaya dirinya turun delapan puluh persen. Setelah Jacqueline menyebut Marshall 'berpakaian tidak benar' tadi pagi, dia langsung meminta orang rumahnya mengirimkan satu stel pakaian kantor yang terlihat paling soleh: kemeja garis biru dengan chino cokelat muda, tidak lupa sepatu pantofel yang lancip mengkilap dan ban pinggang kulit yang juga sudah dipoles. Jacqueline tidak punya alasan untuk mengomentarinya lagi sekarang.

"Hai, Kana."

Marshall menyapa Kana, yang langsung terlonjak mendengar namanya disebut. Kana sedang memoles kukunya dengan kuteks. Lantaran kaget, kuas yang tengah dipegangnya meleset. Lain dengan atasannya yang sudah pasti akan mendengus kesal jika diganggu Marshall seperti itu, Kana malah semringah melihat siapa yang datang.

"Eh, Pak Marshall!" Kana menyapa dengan riang. "Udah lama deh Bapak nggak ke sini. Apa nggak kangen?"

"Sama kamu sih nggak, sama bosmu iya." Marshall mengedipkan mata. Bukannya tersinggung, wajah Kana malah semakin mupeng menatap Marshall. "Ibu jendral masih di dalam, kan?"

Kana mengangguk. "Tapi, jangan diganggu ya, Pak. Dari pagi bad mood."

"Udah saya ganggu kok tadi pagi. Kamu tahu, dia ketiduran di meja kerjanya sendiri padahal baru jam tujuh. Saya curiga dia nggak pulang semalaman."

"Oh ya?" Dengan semangat Kana menanggapi Marshall yang bergosip soal bosnya. "Pak Marshall lihat sendiri?"

"Iya, saya lihat sendiri. Bahkan saya yang bangunin dia."

"Gara-gara itu dia jadi bad mood mungkin, Pak."

"Gara-gara saya ngelihat dia ketiduran?"

"Gara-gara Bapak bangunin dia pas—"

Kana tidak menyelesaikan kalimatnya. Mendadak Jacqueline keluar dari ruang kerjanya. Marshall buru-buru meninggalkan Kana dan menghampiri Jacqueline.

"Hai, Jacques! Kamu mau makan siang, ya?"

Jacqueline tidak menyahut. Matanya hanya fokus mengunci pintu ruangan.

"Mau makan di mana? Mau bareng?"

"Nggak." Jacqueline menyahut datar.

"Saya traktir, deh." Marshall mengekor saat Jacqueline membalikkan badan. Wangi parfum Byredo Mojave Ghost yang samar-samar memenuhi rongga hidung Marshall membuat jantungnya langsung menari-nari.

Jacqueline tidak menghiraukan Marshall. Dia mempercepat langkahnya untuk kabur dari laki-laki itu. Marshall tidak menyerah dan malah mencengkeram tangan Jacqueline agar berhenti berjalan. Jacqueline berjengit dan meringis kesakitan, membuat Marshall kaget dan segera melepas cengkramannya. Marshall menelan ludah. Apakah Jacqueline baru saja disakiti Alfons lagi? Damn, he's a step too late. Marshall menatap Jacqueline dengan iba, sementara dalam hati merasa kesal pada dirinya yang bergerak lamban. Jacqueline salah tingkah. Dia tidak suka Marshall menyorotnya dengan pandangan yang mengasihani. Dia mempertebal dinding pertahanannya lewat sorot mata dingin.

"Tolong jangan sembarangan pegang-pegang saya." Jacqueline mendesis, merendahkan suaranya agar tidak ada satupun telinga yang mendengar. "Saya bisa laporan Pak Marshall ke HRD—no. I can tell your father right away."

"Jacqueline, please. Tujuan saya menemui kamu mulai sekarang bukan untuk gangguin kamu lagi. I had enough of it. Saya sungguhan mau membantu kamu." Marshall menyerahkan map yang sedari tadi digenggamnya.

Jacqueline menerima dengan ragu, sementara tatapan matanya masih mengunci Marshall. Dia membuka map tersebut dan kedua matanya segera membelalak. Ada selembar profil menyerupai curriculum vitae di hadapannya. Seandainya foto yang tertempel di sana adalah foto orang lain, Jacqueline cuma akan mengira Marshall berusaha memaksa Jacqueline agar merekrut kenalannya lewat jalur dalam. Tetapi, yang Jacqueline lihat di sana adalah foto Alfons, suaminya.

Map itu bukan cuma memuat foto Alfons beserta nama lengkap, profesi dan lokasi kerjanya, tetapi juga hal-hal pribadi seperti nomor plat mobilnya, restoran yang sering dia kunjungi, berapa saudara yang dia punya, bahkan hingga daftar aset yang dia miliki atas namanya.

"Saya bisa cari tahu hal lain, yang seharusnya udah kamu tau," ucap Marshall. "Seperti nomor sepatunya, ukuran sempak—"

"What the hell are you doing?!" Jacqueline menatap Marshall dengan tajam.

Kali ini Marshall tidak gentar. Dia balas menatap Jacqueline dengan pandangan yang lebih serius. "Saya bisa mengorek informasi sejauh ini tentang Alfons. Seharusnya ini menjadi bukti bahwa saya bisa melakukan hal apapun terhadapnya. Dia harus berhati-hati."

"Pak Marshall, please, jangan ikut campur urusan pribadi saya." Jacqueline memohon. Kali ini nada suaranya berubah desperate. "You just don't know what you're getting into."

"Saya nggak takut sama dia."

"It's not you I'm talking about, it's me! Dunia ini nggak selalu berputar mengelilingi kamu, Marshall Wardhana!"

"I know." Marshall menggumam. "That's why, jam enam sore nanti, kamu ikut saya. Saya akan pakai cara halus untuk membantu kamu. Kalau kamu nggak mau ikut juga, terpaksa saya gunakan cara kasar dengan informasi yang saya pegang ini. And remember, I can dig even further information about him."

Jacqueline menarik napas dalam-dalam. Sungguh, dia sangat amat menyesal sudah membuka diri pada Marshall kala itu! What was she thinking? Curhat? Well, that's a big mistake! Pertama, sepanjang sejarah hidup Jacqueline, tidak ada orang yang peduli dengan masalah hidupnya. Kedua, sekalinya ada yang peduli, orang itu ternyata adalah self-centered Marshall Wardhana with his hero syndrome yang menyusahkan! Karena begitu desperate ingin Marshall segera berhenti mengurusi kehidupannya, Jacqueline terpaksa menyanggupi paksaan Marshall.

"Oke." Jacqueline mengucap lemah.

"Oke apa?"

"Oke, nanti jam enam saya ikut Pak Marshall."

"Meskipun kamu nggak tahu ke mana dan akan melakukan apa?"

"Asal jangan bunuh saya dan jangan tiduri saya."

Wajah Marshall memerah. "Ka-kamu kira saya laki-laki macam—"

"Dan juga jangan melakukan apapun yang bikin saya malu."

"Jacques, saya ini mau meringankan beban kamu, bukan malah jadi benalu buat kamu."

Jacqueline pikir dia sudah menyebutkan semua syaratnya dengan lengkap, tetapi dia ketinggalan satu hal: jangan membuat dirinya celaka. And of course, as expected of Marshall, kalau tidak diwanti-wanti seperti anak kecil, dia akan melakukan kesalahan tersebut. Dan demikianlah yang terjadi pukul enam sore hari itu, perbuatan Marshall menyerang balik seperti bumerang dan mengancam keselamatan Jacqueline setelahnya.

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now