Bab 2

4.8K 693 43
                                    

Betapa marahnya Marshall saat melihat Jacqueline masih ada di kantor pagi itu, duduk di ruang kerjanya dengan satu tangan menopang kepalanya dan satu lagi berada di atas mouse. Dia menatap layar laptop tanpa semangat meskipun hari masih pagi. Marshall mendorong pintu ruang kerja Jacqueline tanpa basa-basi dan menggebrak meja.

"Kenapa kamu masih di sini?! Kamu kan udah saya pecat kemarin!"

Jacqueline terlonjak kaget, tapi kemudian menghela napas saat melihat sosok yang muncul. Dia mengabaikan Marshall begitu saja dan melanjutkan bekerja, membuat Marshall semakin marah.

"Hei! Saya ini lagi—"

"Pak Marshall beneran mecat saya?" Jacqueline menyela.

"Kamu pikir ucapan saya kemarin main-main?!"

"Oke." Jacqueline meraih ponselnya di atas meja dan menghubungi sebuah nama: Adipati Wardhana. Tak lupa dia menyalakan loudspeaker. Sebetulnya Jacqueline malas menantang Marshall balik. Dia merasa sudah bukan masanya lagi meladeni bocah yang egonya meletup-letup seperti Marshall.

"Kenapa, Jacqueline?" Terdengar suara dari loudspeaker. Marshall berjengit mendengarnya.

"Pak Adi, maaf ganggu. Saya cuma mau pamitan, hari ini hari terakhir saya di kantor."

"HAH?! Ngomong apa kamu?"

"Kemarin Pak Marshall, anak Bapak, mecat saya. Saya akan bereskan barang-barang saya dan pergi sebelum jam makan siang."

"Marshall?!" Suara Pak Adi terdengar kesal. "Berani-beraninya dia ngomong sembarangan! Suruh si tolol itu ke ruangan saya sekarang! Dan kamu jangan berani-beraninya pergi ya, Jacqueline. Nggak ada yang boleh pecat kamu selain saya dan saya pastikan saya nggak akan pernah pecat kamu!"

"Baik, Pak. Kalau begitu saya lanjut kerja." Jacqueline menyahut, sementara tatapan matanya menghujam Marshall yang terlihat pucat. Jacqueline memutuskan sambungan. "Barusan udah dengar kan, apa yang diminta ayahmu? Lantas kenapa kamu masih berdiri di sini?"

Marshall menelan ludah. Wajahnya berubah menjadi merah padam. Saking malunya, Marshall tak sanggup lagi berkata-kata dan akhirnya keluar begitu saja dari ruangan Jacqueline. Tak lama setelah Marshall pergi, Kana masuk ke ruangan Jacqueline dengan tergesa-gesa.

"Mbak! Apa beritanya benar?" tanya Kana dengan nada cemas. "Tadi saya dengar di depan anak-anak lagi rame ngomongin Mbak Jacqueline. Katanya Mbak Jacqueline dipecat Pak Marshall?!"

Jacqueline tersenyum mencemooh sambil mendengus. "Menurut kamu?"

Kana terlihat bingung. "Barusan Pak Marshall ngomel-ngomel sambil keluar. Dia ngatain Mbak Jacqueline ***. Gimana sih, Mbak? Saya nggak ngerti."

"Saya nggak dipecat." Jacqueline menegaskan. "Itu cuma salah paham."

"Tapi orang-orang bilang—"

"Kamu percaya saya atau orang-orang?"

Kana terdiam.

"Ada lagi?" tanya Jacqueline. "Kalau nggak ada, saya mau lanjut kerja."

"Pak Marshall... kenapa tadi keliatan marah banget pas keluar dari ruangan Mbak Jacqueline?"

Jacqueline mengangkat bahu "Dia malu kali, ketauan begonya."

Kana masih bingung dengan maksud ucapan Jacqueline, namun memutuskan untuk permisi keluar dan tidak mengganggu bosnya itu lagi. Setelah Kana keluar, Jacqueline menarik napas dalam-dalam dan menyandarkan diri pada kursinya. Bagaimana mungkin Marshall tidak naik pitam? Ayahnya baru saja mempermalukan dirinya di depan Jacqueline dengan menyebutnya tolol. Dipikir-pikir, kasihan juga Marshall. Jacqueline rasa semenyebalkan apapun Marshall, rasanya tidak pantas jika seorang putra mahkota dipermalukan ayahnya sendiri di depan pegawai.

WASTED LOVE (Completed)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora