Bab 22

2.1K 329 28
                                    

Jacqueline dan Marshall main catur hingga pukul tiga dini hari. Marshall tidak bohong, dia memang bisa main catur, lumayan jago pula. Setelah enam pertandingan, keduanya sudah tidak sanggup lagi lantaran luar biasa mengantuk.

"Berapa skor kita?" tanya Marshall sambil menguap. "Seri bukan?"

"Hah?" Jacqueline mengerjapkan mata.

"Saya menang tiga kali, kamu menang tiga kali."

"Oh." Jacqueline tidak terlalu peduli. Matanya terasa begitu berat. Dalam hitungan detik, dia sudah terlelap. Marshall tersenyum tipis dengan mata yang sayu. Dia membaringkan tubuh di atas lantai dan memejamkan mata.

Pagi harinya, Jacqueline pelan-pelan terbangun karena ada sentuhan di kening. Dia membuka mata dan terkesiap.

"Saya nggak ngapa-ngapain, cuma ngecek aja apakah kamu demam," ucap Marshall.

"Oh."

"Kamu nggak demam. Seems like you're healing well."

"I have to heal well. Banyak kerjaan di kantor."

"Kamu mau ke kantor hari ini? Memangnya kamu udah bisa jalan?"

Jacqueline mengangguk. "Pelan-pelan."

"Dan menarik perhatian semua orang?" Marshall menaikkan sebelah alisnya. Dia sengaja mengeluarkan suara-suara melengking. "Mbak Jacqueline, Mbak kenapa? Ih, Mbak kok jalannya ngesot?"

"Stop it." Jacqueline mendengus.

"Nggak mau, kan? Makanya istirahat. At least hari ini."

"Saya bosan di rumah doang."

"Tubuh kamu juga bosan dipaksa kerja terus." Marshall melipat selimut yang semalam dijadikan alas tidurnya. "Lagian, Wardhana Group nggak bakalan bangkrut cuma gara-gara Jokes nggak masuk sehari."

"Jokes?"

"Kamu. Jacqueline Kitahara Sjahrir. Disingkat jadi JKS, Jokes." Marshall tertawa garing.

Jacqueline mengernyit. Sama sekali tidak lucu. Ketika sudah pagi, Marshall sepertinya menjelma kembali menjadi sosok menyebalkan yang biasanya dikenal Jacqueline.

"Ayo, kita makan pagi." Marshall mengulurkan tangan untuk membantu Jacqueline untuk berjalan keluar kamar dan duduk di kursi meja makan. Kemudian dia membuka lemari makanan dan mengeluarkan sekaleng susu bubuk serta satu kotak oats instan.

"Cuma ada ini untuk sarapan," ucapnya. "Nggak apa-apa, kan?"

Jacqueline mengangguk. "Marshall, saya harus ke kantor hari ini. Ada rapat due diligence sama Pak Adi."

"Biar saya yang ngejalanin." Marshall mulai memasak air untuk menyeduh susu bubuk dan oats.

"Kamu? Kamu kan nggak tahu apa-apa soal itu."

"Saya tahu. I have been paying attention at work," ujar Marshall. "Sejak kamu minta saya untuk nggak nambah beban kamu di kantor, I have been trying to do things right."

Jacqueline takjub mendengar ucapan Marshall. Dia kira Marshall hanya main-main, namun raut wajahnya begitu serius.

"Just trust me."

Marshall meletakkan mangkuk berisi susu dan oats yang masih mengepul ke hadapan Jacqueline. Dia duduk dan mulai makan. Jacqueline bergantian menatap makanan di hadapannya dan Marshall yang sudah mulai makan. Jacqueline menghela napas. Dia tidak punya pilihan lain selain berusaha mempercayai Marshall. Dia tidak ingin datang ke kantor menyeret kakinya dan membuat orang-orang bertanya-tanya. Lalu, dia harus mengarang cerita dan membayangkannya saja sudah membuatnya lelah.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now